“Aku bias saja dengan mudah menggoreskan
pisau di urat nadi tanganku, ketika pikiranku sedang tidak tenang,” ucap
Mirsha kepada seorang psikolog yang berdiri tepat di samping tempat tidur
Mirsha di ruangan rawat inap. Mirsa yang masih terbaring lemah dengan perban
yang melilit di tangan kanannya menutupi luka bekas goresan pisau tadi pagi. “Untung saja sodari Mirsa cepat di bawa
kemari, sehingga nyawanya bisa tertolong.” Papar dokter yang menangani
Mirsha memberi keterangan kepada psikolog yang coba menelaah keadaan jiwa
Mirsha.
“Hentikaaaaaan!!!” bentak Rani seraya
melemparkan sebuah sendok dari tangannya. Suasana di meja makan seketika
mencekam. Dengan wajah merah matang Rani menatap suaminya. “Aku
bilang, aku mau cerai! Paham?!.....” suaranya melengking sampai menusuk di
gendang telinga Bagas. Bagas pun seketika bangkit dari duduknya, tanganya
menarik tangan istrinya yang menunjuk-nunjuk ke arahnya. “Kita bisa bicarakan ini nanti,” ucapnya perlahan. Wajah Rani
semakin merah menyala. “Lepaskan!” tangannya
membuang genggaman Bagas. “Ini meja
makan!” suara Bagas kali ini membentak. “Lalu?” Rani menjawab dengan nada yang lebih tinggi. Kemudian
tangannya cepat meraih tas yang tergeletak pada kursi disampingnya berdiri. “Saya tidak mau tau, sepulang saya dari
kantor surat cerai itu sudah saya terima!” ucapnya dengan nada masih marah,
“Jaga anakmu! Bagas!” tambahnya ketus,
kemudian Rani bergegas meninggalkan meja makan.
Posting Komentar