Adakah "Sekolah" yang layak?


Adakah “Sekolah” Yang Layak?
Oleh : Ana Marliana

Saat ini kata “sekolah” sudah tak asing lagi di telinga setiap orang. Betapa tidak, saat ini sudah banyak sekolah-sekolah yang berdiri dengan status negeri maupun swasta. Bahkan, pemerintah pun gembar-gembor menyuarakan tentang pendidikan terutama lewat sekolah. Sekolah dibentuk sebagai wadah pendidikan formal yang terdiri dari SD, SMP, SMA dan Perguruan Tinggi.

Sekolah mendapat sorotan tersendiri saat peringatan Hari Pendidikan Nasional
yang jatuh pada tanggal 2 Mei.  Hari  tersebut lahir setelah berdirinya Perguruan Nasional Taman Siswa oleh Ki Hajar Dewantara. Ki Hajar Dewantara dikenal dengan sebutan Bapak Pendidikan Nasional dan sebagai pahlawan pendidikan rakyat Indonesia pada saat masa penjajahan. Dengan semangat juangnya memerdekakan pendidikan rakyat pribumi yang saat itu terjajah oleh para kolonial yang menancapkan jajahannya di NKRI.

Pendidikan di Indonesia belum dapat dikatakan maju. Mungkin masih berkembang, sebagai kata halus dari ‘tertinggal’. Mengapa tidak? Saat ini untuk mengecap bangku sekolah saja masih dirasa sulit. Hal ini dibuktikan dengan masih banyaknya anak-anak yang sudah cukup usia untuk bersekolah malah bertebaran di jalan raya untuk mencari nafkah dengan mengamen atau menjadi pengemis.

Pada dasarnya, masih banyak anak-anak yang memilih belajar di jalanan dan bukan di sekolah karena sekolah dipandang masih menjadi barang mahal. Terutama bagi kalangan yang tingkat ekonominya rendah masih sulit untuk bersekolah. Anak-anak masih sulit untuk mendapatkan ilmu pengetahhuan atau belajar sebagaimana mestinya. Padahal pendidikan itu sangat penting untuk masa depan. Bahkan dalam pasal 1 UU Nomor 2 Tahun 1989 menjelaskan bahwa pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan atau latihan bagi peranannya di masa yang akan datang.

Belum Didukung

Dengan adanya kebijakan pemerintah untuk mewajibkan pendidikan selama 12 tahun, masih belum di dukung dengan fasilitas yang memadai. Menurut saya, kebijakan ini masih terlalu jauh jika diterapkan di Indonesia yang notabene masih belum sejahtera. Begitupun dari segi pendidikan, sekolah tidak dapat dinikmati oleh semua kalangan. Bahkan, hanya kalangan tertentu yang bisa duduk di bangku sekolah dan mendapat pengajaran dan ilmu pengetahuan. Padahal lagi-lagi disebutkan bahwa setiap warga negara berhak atas kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengikuti pendidikan agar memperoleh pengetahuan, kemampuan, dan keterampilan yang sekurang-kurangnya setara dengan pengetahuan, kemampuan, dan keterampilan tamatan pendidikan dasar (Pasal 6, BAB III: Hak Warga Negara untuk Memperoleh Pendidikan. UU Nomor UU Nomor 2 Tahun 1989).

Adakalanya suatu kebijakan memang sudah seharusnya diimbangi dengan fasilitas pendukung. Jika pemerintah menetapkan kebijakan wajib belajar 12 tahun, maka sekurang-kurangnya semua kalangan masyarakat dapat memenuhi kriteria untuk menempuh pendidikan 12 tahun tersebut seperti yang sudah tercantum pada pasal 6 diatas. Salah satunya dengan tidak serta merta menjadikan sekolah yang menyajikan pengajaran sebagai barang mahal bagi kalangan bawah. Memang sudah ada kebijakan baru tentang sekolah gratis selama 6 tahun, yakni selama sekolah SD. Namun masih tetap ada kendala di dalamnya mengenai buku. Kemudian, menyusul kebijakan bantuan  buku pelajaran, namun kendala berikutnya buku-buku itu hanya bisa digunakan dilingkungan kelas dan tidak bisa dibawa ke rumah sebagai bahan untuk siswa-siswi belajar di rumah.

Selain itu, tingkatan berikutnya yakni pada jenjang SMP khususnya bagi yang berstatus negeri. Saat ini di Sekolah Menengah Pertama memang sudah mendapat bantuan dana BOS (Badan Operasional Sekolah) yang mengratiskan SPP, namun pada awal masuk sekolah murid baru diwajibkan membayar SDP (Sumbangan Dana Pembangunan) yang tarifnya masih diatas rata-rata. Dan kebanyakan masyarakat yang ekonominya dibawah rata-rata masih sulit menembus pendidikan SMP. Begitupun dengan SMA. Beberapa kebijakan hampir sama. Dan yang lebih menghambat lagi, adalah tentang pembelian buku pelajaran yang belum bisa dijangkau oleh semua kalangan.

Apalagi dengan perguruan tinggi yang sudah jelas tidak dapat dinikmati oleh semua kalangan. Pendidikan di perguruan tinggi saat ini masih dikatakan barang mewah, sebab untuk kuliah masyarakat harus merogok kocek puluhan juta rupiah. Dan ini sangat jelas menandakan, bahwa pendidikan di Universitas ditujukan bagi masyarakat kalangan atas.

Meskipun saat ini pemerintah atau beberapa lembaga membantu dengan menyediakan beasiswa bagi lulusan SMA atau sederajat yang mau berkuliah, tetapi penerima beasisiwa itu tidak merata. Artinya, hanya beberapa yang berprestasi dan beberapa yang kurang mampu bisa menerima beasiswa untuk masuk perguruan tinggi. Sedangkan, kita tahu keadaan masyarakat kita yang ada di bawah garis kesejahteraan tidak tersentuh oleh beasiswa perguruan tinggi. Dengan kata lain mendapatkan beasiswa pun sulit.
Sebenarnya, masyarakat kalangan bawah itu bukan tidak mau untuk mengecap pendidikan atau duduk di bangku sekolah dan belajar. Namun, masyarakat masih menilai sekolah itu mahal, dan bagi mereka tak layak dan tak mampu untuk belajar di sekolah. Meskipun, program-program pemerintah sudah berupaya memberikan keringanan. Kesejahteraanlah yang seharusnya pertama-tama diperbaiki. Memang, kesadaran masyarakat akan pendidikan itu harus ditumbuhkembangakan, namun jika masyarakat itu tetap tidak bisa mengecap pendidikan tentu kesadaran mereka akan pendidikan pun perlahan luntur dan pandangan mereka akan berubah menjadi anti sekolah. Toh, tanpa sekolah pun mereka bisa mendapatkan uang. Walaupun hanya bermodalkan rasa iba orang lain.

Infrasturktur Sekolah

Menyoroti beberapa peristiwa akhir-akhir ini, yakni beberapa pelajar harus melaksanakan Ujian Nasional (UN) dengan menyewa rumah warga dan membangun tenda darurat dikarenakan ruang kelas di sekolah tempat mereka tidak layak untuk dijadikan ruang untuk pelaksanaan UN. Beberapa diantaranya sekolah mereka ambruk. Ini tentu membuat kita miris. Adakalanya anak-anak bisa mengecap bangku sekolah namun fasilitas sekolah tidak memadai.
Seharusnya pemerintah sudah sangat sigap menyelesaiankan persoalan seperti ini. Kembali lagi, kebijakan pendidikan 12 tahun pun menadi wajib didukung dengan infrastuktur yang memadai. Pemerintah seolah berleha-leha dan tidak begitu menoleh saat beberapa infrastuktur sekolah sudah tidak layak digunakan. Infarstruktur ini meliputi bangunan sekolah, bangku sekolah, papan tulis ataupun segala yang mendukung proses belajar di sekolah.

Bukan rahasia lagi bahkan beberapa sekolah keadaannya menghawatirkan, atap-atap ruang kelas sudah rusak dan sewaktu-waktu bisa saja ambruk dan menimpa siswa-siswi yang sedang belajar. Lagi-lagi, keselamatan dan kenyamanan siswa-siswi belajar di sekolah harus dipertaruhkan. Belum lagi beberapa ruang kelas di beberapa sekolah bahkan rusak akibat dari genangan air banjir yang melanda jika musim hujan. Bahkan, ada sekolah yang terpaksa tidak beroprasi lagi akibat sering sekali terendam air bah ketika banjir melanda. Dan pemerintah pun sama sekali tidak melakukan tindakan apapun terhadap keadaan tersebut.

Memang sangat menyedihkan melihat keadaan pendidikan kita sekarang. Disamping masih menjadi barang mewah, sekolah pun masih belum dapat memberikan pelayanan yang baik bagi para pelajar. Termasuk didalamnya elemen-elemen yang berperan di  sekolah seperti tenaga pendidik dan buku-buku penunjang yang masih belum berperan sebagimana mestinya. Singkat kata, ternyata masih banyak masalah yang harus segera diselesaikan oleh yang berwenang terhadap mutu pendidikan di Indonesia.

Idealnya, kebijakan pemerintah apapun itu, harus diseimbangkan dengan fasilitas yang mendukung dan memadai. Berikanlah pelayanan pendidikan secara merata bagi semua kalangan masyarakat. Sebab, sadar atau tidak justru anak-anak yang sekarang masih duduk di bangku SD, SMP atau SMA bahkan anak-anak yang terpaksa tidak mengecap bangku sekolah adalah tunas bangsa. Dan merekalah penentu masa depan negara.*  

Related Post



Posting Komentar

footer

Pages

Sponsers