Feature human interest


Muhammad Mulki Ibrahim
Dapatkan Hidayah Dari Lantunan Ayat Suci



BERSENDER SANTAI – Mulki menyenderkan badannya ke tembok gedung Vander yang berada di DIY (Daerah Istimewa Yogyakarta), Jawa Tengah, 14 September 2011 lalu.




Berhari-hari setelah Mulki (23) meninggalkan rumahnya di Palu, Sulawesi Tengah pada bulan September 2005 lalu, dirinya masih diliputi awan kesedihan. Rasa sedih itu muncul karena dia harus berpisah dengan kedua orang tuanya dan keluarganya. Namun, satu sisi yang membuat air mata kesedihan itu terhapus adalah karena akhirnya dia menemukan cahaya yang selama ini bersembunyi dibalik keyakinan yang dianutnya.

Nama barunya kini Muhammad Mulki Ibrahim.

Menulis feature



I s m a i l  K u s m a y a d i
Hidupkan Ruh Jurnalistik di Sekolah


“Seperti mimpi yang menjadi kenyataan,” itulah sekutip kata yang terlontar dari Ismail (36) dengan seseungging senyum bahagia ketika dirinya mampu mewujudkan impiannya. Jika dalam ugkapan ‘banyak jalan menuju Roma’, namun hanya satu jalan menuju titik harapan, yakni berusaha. Inilah yang sekiranya menjadi benih-benih semangat yang di rasakan Ismail saat dirinya kembali menginjakkan kaki di sekolahnya, yakni SMAN 1 Banjaran.  Namun kali ini ada yang berbeda,

Lewat Dirimu, Mega

Lewat Dirimu, Mega 
oleh Ana Marliana

Kotak-kotak samar berderet rapi
Bersuara halus, meski saling berbisik
Menyimpan diksi yang berapi
Rentan akan gelisah terusik

Hanya sejenak napas ini menghirup udara segar. Bulir-bulir kesejukan yang merasuk lewat lubang hidung dan bersemayam dalam paru-paruku ini. Kesejukan yang mendinginkan aliran darahku, bahkan sejenak membuatnya beku. Keheningan yang sejenak melumpuhkan detakkan jantungku. Hanya sejenak. Dan sepersekian detik dari 24 jam waktu yang aku miliki. Rasanya itu yang aku rasakan.
Kali ini sebaliknya. Inilah sebenarnya dunia di balik cermin yang beku. Jantungku seketika berdegup kencang. Darah dalam urat nadiku mengalir dengan deras. Panas tubuhku seperti mendidihkan aliran darah yang mendorong andrenalinku kuat. O2 dalam tubuhku terurai menjadi keringat dengan campuran NaCl. Terasa mengalir deras di keningku. Jemari tak urung juga bisa diam. Gerakannnya mengisyaratkan dirinya sedang gelisah. Tidak hanya jemariku yang bergoyang, ternyata seluruh tubuhku bergetar. Bergetar tak karuan.
Sayup angin yang tiba-tiba mendarat ditubuhku, menyusup lewat celah-celah baju dan jilbabku. Sentuhan lembutnya sedikit menghibur amukan keping darah yang saling berdesakan ingin segera masuk ke jantung, dan kemudian dipompakan. Hanya sekejap, gelisah itu datang lagi dan semakin menjadi-jadi.
“Gimana kondisi ibumu?” suara sesorang berbisik memecah kegelisahanku. Sontak aku menoleh, “Bibi?” ucapku, lalu aku hanya mampu menggelengakn kepala beberapa kali.
Mataku menangkap sosok perempuan adik kandung ibuku. Dia mengankat tubuhnya. Langkah pastinya menuntunya menghampiri laki -laki separuh baya yang sejak 3 jam lalu berdiri di samping pintu yang bertuliskan ‘Ruang Operasi’, dengan raut kecemasan yang tidak dapat disembunyikan lagi. Matanya bebinar, memori dengan istrinya mulai terputar di disket pikirannya. Titik airmatanya mengalir mengikuti kecemasannya.
“Mas, sabar ya!” ucap perempuan itu berbisik seraya tangannya menyentuh pundak laki-laki separuh baya itu. Ayahku.
Itulah selintas gambaran yang masih mampu kurekam lewat sorotan mataku yang terasa semakin perih. Aku pun sama seperti ayahku, masih menanti. Masih menunggu. Beberapa orang yang kompak berseragam hijau-hijau dengan masker dan penutup rambut yang sama berwarna hijau keluar dari ruang pertarungan itu. Kecemasanku semakin menjadi-jadi. Beribu pertanyaan mengusik dalam benakku.
Kutundukan pandangaku. Berharap saat kutegadahkan kembali wajah, ku dapatkan sosok ibu yang kembali tersenyum. Sekelibat, kepingan CD tentang aku dan ibu terputar di pikiranku. Sesungging senyum yang selalu terpancar di pagi hari, lebih dari itu, dalam setiap waktu. Seolah kebahagiaan kekal dalam goresan senyumnya. Seketika kerinduan menjalar dalam tubuhku. “Aku rindu ibu,” hanya kata-kata itu yang masih mampu terucap dari bibirku. Semenjak 1 bulan yang lalu ibu koma. Kanker hati yang menyerangnya, telah melumpuhkan dirinya. Suaranya. Senyumnya. Bahkan sekaligus melumpuhkan aku dan ayah. Melumpuhkan puing-puing hidup kami dalam album keluarga bahagia.
***
Halus warna, tergores dalam tubuhnya
Terlempar bahagia di angkasa
Meski, hening dalam paruhnya
Saat kepakan itu terbuka

“Rahma?” suara seseorang mengejutkanku. Sontak lamunanku buyar.
“Hhm,”jawabku kaget
“Alida,” ucap perempuan cantik. Parasnya mengisyaratkan dia masih seusiaku. “Alida, ingat kan?” katanya berulang.
Aku masih menatapnya dengan penuh kebingungan.
“Temen SMP dulu, kita pernah sebangku waktu kelas 7,” jelas perempuan bernama Alida. Sesuai perkenalannya
“Haaa,”jawabku datar,
“Lagi apa disini?” tanyanya akrab, tak menghiraukan apapun responku
Aku tak mengeluarkan sepatah katapun untuk menjawab pertanyaannya. Bukan tak ingin menjawab, tapi lebih tepatnya aku masih merasa bingung dengan kedatangannya tiba-tiba disampingku. Taman burung ini memang bukan tempat isolasi untuk para pengidap penyakit akut, baik penyakit psikis maupun penyakit fisik yang belum ada obatnya. Tapi setidaknya, ini adalah tempat persembunyianku dari segala kepenantan hidup yang bersarang di pundakku. Membuat tubuhku terkadang terpapah untuk berdiri. Masih terasa sulit dan sakit.
“Rahma?” Alida kembali mengejutkanku. Mungkin kali ini dia merasa memang aku tak merespon kedatangannya
Aku hanya tersenyum tipis. Lalu senyum itu berubah menjadi hujan air mata. Tak terbendung.
“Kepergian ibu masih menyesakkan,” beberapa patah kata baru terlontar dari bibirku
“Ibu…?” ucapanya terhenti, “Masih ada ayahmu yang harus kamu perhatikan,” tambahnya
Aku hanya sedikit terkejut. Namun ucapan Alida cukup memberikan angin segar dalam keringat kesedihanku. Membuatnya sedikit lembab. Tak lagi melangalir deras.
Kutorehkan pandangan ke arahnya, “Benar,” ucapku menghela napas panjang
Titik air langit jatuh mengguyur tubuhku. Tentu tubuh Alida juga basah kuyup. Taman burung ini berubah menjadi lapangan kosong, tanpa tebaran dan hinggapan burung-burung merpati putih, hitam, abu, dan warna-warna bulu yang indah melukis di tubuhnya. Hanya air hujan yang masih setia menemani tubuh kami yang juga setia menggigil diguyurnya.
***
Langit sore melukis keindahan panorama bumi yang sempurna. Sayup angin yang menerpa di tubuh pepohonan membuatnya menari sejenak. Mataku masih menatap jalan setapak di hadapanku.
“Kalau kamu masih belum siap untuk pindah dari sini,” kata-kata ayah terhenti, “Ayah tidak apa-apa,” ucap ayah seraya mengusap punggung tanganku yang menyentuh pegangan kursi roda yang ditumpanginya.
Aku tersenyum, “Tidak Ayah,” jawabku halus tepat di samping telinganya, “Rahma mau kok pindah dari sini,” jawabku menutupi beban yang menyesak di dada
“Kamu putri Ayah. Ayah tau bagaimana perasaanmu saat ini,” ayah menebak sesak yang aku rasa
Senyumku memudar, “Kenangan Ibu lekat disini, Yah,” ucapanku melemah. Menyusul titikan air mata mengalir di pipiku.
“Ayah paham. Bahkan sangat paham. Tapi sayang…” suaranya yang terdengar bergetar, terhenti
“Iyaa Ayah, Rahma juga paham. Hmmm, ayo pergi dari sini,” jawabku mencoba menghibur ayah
Ayah hanya menganggukkan kepalanya beberapa kali. Tanpa sepatah kata lagi yang terlontar dari bibirnya. Barangkali air matanya yang kini mewakili kata-katanya yang tersumbat di tenggorokannya. Memang sulit meninggalkan istana yang dihuni aku, ibu dan ayah 2 tahun lalu. Disana terpatri benih-benih kasih sayang yang tak dapat terbeli oleh apapun jua. Kebahagiaan, kebersamaan, canda tawa, air mata, kami tumpahkan di gubug tua dengan luas bangunan sekitar 170 m2 itu. Wajar saja aku namakan istana itu gubug tua, sebab rumah itu adalah rumah peninggalan kakek buyutku, berpuluh-puluh tahun lalu.
Ayah. Laki-laki tua yang mulai disarangi keriput di kulit wajahnya Nampak masih menggoreskan luka yang mendalam. Atas kehilangan ibu dan rumah kenangan kita bertiga. Tepat setahun selepas ibu tiada, ayah diserang stroke. Padahal, ayah tidak memiliki riwayat penyakit jantung. Kesedihanku makin menggunung. Bukan karena aku tak mau mengurusi ayah yang sakit, tapi hatiku masih menoreh kepedihan yang mendalam atas kepergian ibu, disusul dengan kesakitan ayah. Yang mungkin saja datang karena ayah pun teriris hatinya sebab separuh jiwanya telah tiada.
***
 “Rahma mau cari kerja, Yah,” kataku membuka pembicaraan pagi ini.
Suara sentuhan sendok makan di piring ayah berhenti terdengar. Beberapa saat aku pun merenungi ucapanku sendiri. Dengan menyimpan segores rasa bersalah pada ayah dihatiku, kulangkahkan kaki mendekatinya.
“Ayah tidak mengizinkan?” tanyaku menebak isi hati Ayah. Ayah masih diam. Namun air matanya tak dapat berhenti mengalir di pipinya.
“Ayaaah,” ucapku seraya merendahkan badanku di samping kursi rodanya. Ku sentuh tanganya yang mengurus dan berkeriput.
“Ayah,” ucapku terbata, “Kalau Ayah tidak mengizinkan Rahma cari kerja, yaa gak apa-apa,” lanjutku dengan mantap, namun lebih tepat aku menyembunyikan rasa kecewa.
Ayah masih tetap diam. Bahkan sentuhan tanganku tak dibalasnya.
“Rahma yakin, Rahma gak apa-apa. Yah, toh tabungan kita masih cukup untuk 1 tahun kedepan,” ucapku menahan sesak di dada. Bukan karena aku merasa kecewa pada laki-laki tua yang darahnya mengalir ditubuhku saat ini menolak keinginannku. Namun, lebih tepatnya aku merasa pengap menahan tangis sebab tabungan ini adalah uang sisa dari penjualan istana milik Ibu dan Ayah. Yang sekarang telah menjadi istana milik orang lain.
“Ayah sudah tua Nak,” ucapan ayah sesak menahan tangis
“Rahma tau,” jawabku mencoba mencairkan suasana hati ayah
Ayah hanya tertunduk, dan tanganya kali ini mendarat di rambutku. Menyentuh dan membelai kepalaku dengan penuh rasa cinta. Itulah yang kurasa dalam hatiku. Ketenangan. Obat dari segala bentuk derita di hatiku. “Aku tak dapat membayangkan jika kehilanganmu, Ayah,” bisikku yang tersembunyi dibalik tirai lubuk hatiku.
***
Daun-daun kering itu berlari
Angin bersiul, membawanya bernyanyi
Daun-daun muda mulai bercerita
Kami mendengar dengan setia

Segala ketakutanku satu persatu menghampiri. Mereka datang dengan membawa segudang mawar. Namun mawar hitam yang layu yang menemani mereka. Mereka membawa merpati. Namun merpati hitam pula yang terbang dan hinggap di sekitar mereka. Mereka membawa hujan. Namun rintiknya tak lagi menyejukan.
“Ini makam Alida, Rah,” ucap seorang wanita separuh baya dengan raut kerinduan yang mendalam.
“Alida pernah menemui saya setahun lalu,” ceritaku dengan rasa terkejut meyaksikan pusara di hadanku
“Mungkin Alida merindukanmu Rah,” Ibunya berkata seraya merangkul pundakku, “sebelum pergi, dia memang sempat bercerita ingin menemuimu,” lanjutnya, kini air mata kerinduannya meleleh
Aku pun ikut meneteskan air mata. Alida sahabatku ketika usiaku masih 13 tahun ini sudah 3 tahun lebih dulu menuju permadani surga yang indah, ketimbang ibu. Suaranya yang hangat, dan tatapannya yang tajam namun penuh kasih sayang masih membayang diujung mataku. Tak pernah kukira, kini dia berada di balik gunungan tanah merah. Hanya wangi pemakaman yang menyegat yang kini mengiris sampai dilubuk hatiku.
***
Bongkahan es yang membeku
Saat ini mencair
Membuat badai dalam bisu
Darah perih, kembali mengalir

Wangi ini seperti sudah kekal dalam indra penciumanku. Lekatnya tanah kembali menyentuh di ujung baju dan telapak tangannku. Tak ingin bersih. Tangan ini kotor dengan corak merah dan coklat dari tanah tempat peristirahatan orang-orang yang aku cintai. Air mataku mengantar kepergian Ayah. Sekarang, tak akan kusembunyikan lagi perih dan pedih yang bernanung di ujung hatiku. Disini, dihadapan cinta yang begitu indah akan kuhapus kesedihanku dengan membiarkanya mengalir, dan kemudian pergi. Entah, biarlah angin yang membawanya terbang. Atau biarlah air yang membawanya hanyut. Atau, biarlah benih-benih kesedihan ini saling terkejut dengan kebahagiaan yang mungkin nanti akan ku dapatkan. Semoga.
“Kamu harus ikut bibi ke Surabaya,” bisik perempuan adik kandung ibuku disela kesedihanku
“Tapi bi,” jawabku meragu, “ayah dan ibu kan disini,” jawabku masih merintih pilu
“terus, kamu mau tinggal sendiri?” bibi mengajukan pertannyaan yang sama begitu mendesak
“Aku akan selalu merindukan mereka, bi,” jawabku seraya terisak, “aku bingung,” jawabku, tak ingin lagi banyak berkata
Bibi memelukku. Aku larut menangis dalam dekapannya yang hangat. Berharap, dekapan ini yang diberikan ibu saat ayah tiada. Seperti halnya dekapan ayah saat ibu tiada.
***
Langit Surabaya begitu cerah. Orang-orang berlalu lalang dengan berbagai kegiatan. Di sepanjang jalan Jakarta-Surabaya aku hanya termenung menatap pemandangan dengan pikiran yang melayang. Terbayang semua yang aku lewati bersama dua orang yang kucintai. Kehangatan mereka kini berubah mendingin. Bahkan membeku.
“Sebentar lagi kita turun Rah,” Ucap bibi mengagetkanku
“Hmm,” aku hanya menjawab dengan sekali anggukan
Bibi hanya tersenyum pilu melihat sikapku. Aku tahu itu.
“Ayah, aku ingin balon yang warna merah itu?” ucap anak perempuan manja pada ayahnya
“Yang mana sayang?” laki-laki yang menggendongnya bertanya dengan nada manja pula
“Yang merah, ayah,” kata anak itu mantap
Seorang wanita menghampiri mereka berdua, “Ayo sayang, kita cari dulu sayuran,” kata-katanya begitu halus.
Mereka berlalu dari pandanganku dengan senyum yang merekah. Semua rasa berkecamuk dalam batin dan benakku. Gerimis kesedihan kini kembali menepi. “Aku sangat merindukanmu, Ibu…ayah…” lirihku dalam hati.
“Ayo Rahma,” Bibi memanggilku,
Kubalikan badan, berjalan membuntuti bibi. Langit Surabaya yang mulai memerah memancarkan indah yang sama ketika aku meninggalkan istanaku. Kutatap tiap goresan lukisan itu. Sedikit demi sedikit kulebarkan senyum. Kutitipkan senyum ini untuk ayah dan bundaku lewat dirimu, mega.***

Prolog Novel


Aku bias saja dengan mudah menggoreskan pisau di urat nadi tanganku, ketika pikiranku sedang tidak tenang,” ucap Mirsha kepada seorang psikolog yang berdiri tepat di samping tempat tidur Mirsha di ruangan rawat inap. Mirsa yang masih terbaring lemah dengan perban yang melilit di tangan kanannya menutupi luka bekas goresan pisau tadi pagi. “Untung saja sodari Mirsa cepat di bawa kemari, sehingga nyawanya bisa tertolong.” Papar dokter yang menangani Mirsha memberi keterangan kepada psikolog yang coba menelaah keadaan jiwa Mirsha. 

Hentikaaaaaan!!!” bentak Rani seraya melemparkan sebuah sendok dari tangannya. Suasana di meja makan seketika mencekam. Dengan wajah merah matang Rani menatap  suaminya. “Aku bilang, aku mau cerai! Paham?!.....” suaranya melengking sampai menusuk di gendang telinga Bagas. Bagas pun seketika bangkit dari duduknya, tanganya menarik tangan istrinya yang menunjuk-nunjuk ke arahnya. “Kita bisa bicarakan ini nanti,” ucapnya perlahan. Wajah Rani semakin merah menyala. “Lepaskan!” tangannya membuang genggaman Bagas. “Ini meja makan!” suara Bagas kali ini membentak. “Lalu?” Rani menjawab dengan nada yang lebih tinggi. Kemudian tangannya cepat meraih tas yang tergeletak pada kursi disampingnya berdiri. “Saya tidak mau tau, sepulang saya dari kantor surat cerai itu sudah saya terima!” ucapnya dengan nada masih marah, “Jaga anakmu! Bagas!” tambahnya ketus, kemudian Rani bergegas meninggalkan meja makan.

Haruskah jadi budaya baru?


Haruskah Jadi Budaya Baru?
Oleh : Ana Marliana
Beberapa hari terakhir ini semenjak munculnya isu kenaikan harga BBM (Bahan Bakar Minyak) banyak sekali bentuk protes dari masyarakat. Salah satu bentuk protes ini adalah dengan mengadakan aksi atau demo di beberapa lembaga daerah untuk menyuarakan aspirasi masyarakat. Beberapa elemen masyarakat diantaranya mahasiswa dan buruh, yang kerap kali melakukan aksi memprotes kenaikan BBM.

Puncak dari aksi menolak kenaikan BBM ini adalah ketika sidang Paripurna DPR RI (30/3)

Adakah "Sekolah" yang layak?


Adakah “Sekolah” Yang Layak?
Oleh : Ana Marliana

Saat ini kata “sekolah” sudah tak asing lagi di telinga setiap orang. Betapa tidak, saat ini sudah banyak sekolah-sekolah yang berdiri dengan status negeri maupun swasta. Bahkan, pemerintah pun gembar-gembor menyuarakan tentang pendidikan terutama lewat sekolah. Sekolah dibentuk sebagai wadah pendidikan formal yang terdiri dari SD, SMP, SMA dan Perguruan Tinggi.

Sekolah mendapat sorotan tersendiri saat peringatan Hari Pendidikan Nasional

Wanita, boleh eksis


Wanita, Boleh Eksis

Peringatan hari kartini yang jatuh setiap tanggal 21 April, akan diperingati setiap orang dengan berbeda-beda. Ada yang melaksanakan lomba peragaan busana dengan pakaian wajib yang dikenakan yaitu kebaya dengan segala atributnya, menggambarkan sosok Kartini. Ada pula yang memperingatinya dengan membuka seminar atau lokakarya yang mengulas tentang Kartini dan wanita. Bentuk peringatan ini biasanya disesuaikan dengan tingkat pendidikan yang sedang dijejaki.

Menari di dayung senja

Menari Di Dayung Senja
Oleh : Ana Marliana


Deburan ombak yang saling berkejaran dihempas angin seolah sepasang sejoli yang sedang memadu cinta di malam pertamanya. Mereka berpadu dengan mesra. Saling berjabat, saling menyentuh, bersenda gurau, tertawa riang bahkan seolah berbaring bersama dan masuk dalam mimpi indah bersama-sama pula.

Di bibir pantai senja itu terdampar sebuah perahu nelayan. Perahu yang ikut menari kala tubuhnya terhempas ombak. Di ujung badan perahu kayu

Bayangan Semu

Bayangan Semu

Langit diluar sana mungkin telah berubah warna menjadi hitam dan gelap. Mungkin pula, dengan beberapa bintang yang bertebaran menemani kegelapan. Mungkin juga, diantara bintang-bintang itu hadir rembulan yang berbentuk kue bulan sabit dengan gula halus yang menyelimuti tubuhnya. Sinar bulan itu tak nampak begitu terang. Entahlah, itu hanya mungkin. Dan itu hanya bayangan yang sekelibat hadir dalam benakku. Benakku yang masih terus terbangun, meskipun jam di dinding sudah mengajakku untuk segera masuk ke alam mimpi. Bermimpi, dan bermimpi tentang apapun yang pernah dan tidak aku alamai.

Yaaa, Aku yang masih terbaring melentang di atas tempat tidurku enggan untuk memejamkan mata. Meskipun rasa perih telah menjalar dalam tiap urat syaraf mataku hingga mengeluarkan air mata. Lampu kamar yang perlahan menyala dan redup, menghasilkan bayang-bayang tubuhku di dinding. Jendela kamar yang masih ku buka mengantarkan angin malam berlarian masuk dalam ruang tempatku terbaring.

“akan ku tutup jendela itu,” bisikku dalam hati

“akan ku tutup jendela itu,” tak genap satu detik, terdengar bisik ditelingaku menirukan kata hatiku.

Bukan kali pertama aku mengalami hal seperti ini. Awalnya, aku tidak merasa nyaman dan bahkan ketakutan ketika secara tiba-tiba muncul bisikan yang mengetahui segala isi hatiku. Telinga mereka seolah-olah bersarang di hatiku, di dalam batinku. Mereka selalu peka mendengar apapun yang aku utarakan dalam hati. Sungguh tak menyenangkan. Dan aku merasa hidupku tak dapat menyembunyikan rahasia, barang sebesar atom yang dihancurkan. Tapi pada akhirnya, hal tersebut seolah menjadi teman akrab dalam hari-hariku.

Beberapa kali hal ini sering kuceritakaan pada kawan dekatku, Nurma. Dia setia mendengar apapun yang aku rasa. Sepertinya hanya tinggal dia yang mau mendengar, selain mereka yang selalu dapat mendengar. Mereka, yang sama sekali tak pernah kudapati batang hidungnya. Mereka yang tanpa wujud.

“itu hanya perasaanmu saja Sar,” katanya lembut seraya matanya teduh memandangiku.

“ini terjadi berkali-kali Nur, gak mungkin hanya perasaanku aja,” bantahku, sesekali memandang dan kemudian memalingkan mataku dari wajah sahabatku.

Seketika sekelumit perasaan beradu dalam batinku. Tubuhku seolah sekuntum bunga terompet yang dihempaskan angin bertubi-tubi. Nurma memelukku. Dalam riuh orang berlalu lalang di tempat pameran foto, bagiku seperti riuh orang datang berdemonstrasi kepadaku. Aku, akulah yang dituju oleh mereka. Mereka mencaci namaku, mereka membakar fotoku, dan mereka mendekatiku dengan tatapan marah dan muka merah.
***
Percikan air yang terpancar dari sebuah pipa air mancur terlihat begitu indah. Sentuhan-sentuhan kerasnya menghentak di sebuah danau buatan, di pelataran taman kampus tempatku berkuliah. Sesekali, percikan air pancuran itu mendarat di wajahku. Sesekali itu pun sesungging senyum akan terbias di wajahku. Merasa bahagia dengan apa yang aku alami.
“seminggu ini kamu gak pernah masuk kuliah. Kenapa?” tanya Nurma yang tiba-tiba duduk disampingku
“hmmm” aku masih setia menatap semburan air, dan berharap kembali menetes di wajahku.
“Sar,” Nurma memanggilku.
Aku mendengarnya.
“Saraaaah,” nada suara Nurma mulai meninggi. “halooo!” tangannya nenutup mataku.
Aku menoleh kearahnya dengan tatapan sinis, kali ini aku merasa hidupku di usik oleh teman dekatku sendiri.  Seketika api seolah membakar dalam dadaku. Badanku bangkit dengan sendirinya, kemudian berlalu. Hari ini kututup perjumpaanku dengan Nurma di bawah percikan air mancur dengan sedikit kekesalan.
***
Entah bagaimana caranya aku berada di tempat ini. Aku seperti berada tepat di bawah langit biru, dan seolah awan-awan putih itu dapat ku sentuh dengan jemariku. Aku berada di sebuah atap gedung yang nampaknya belum selesai dibangun. Aku berada di sekeliling batu-batu kerikil yang berserakan, dan batu-batu yang menempel di dinding yang bisu. Seperti selalu takut terjatuh dari lantai 30 ini. Aku tahu, aku berada di atas sebuah hotel tua. Tak lagi digunakan sebagai mana mestinya. Dan saat ini, di depanku sedang terduduk seorang wanita seusiaku, dengan gaun merah mudanya, dan rambut ikal gantungnya, yang nampak seperti seorang ratu atau putri dalam dongeng-dongeng kerajaan. Dan melihatnya, aku merasa aneh sendiri.
“kamu sedang apa disini?” tanya perempuan itu kepadaku seolah tahu kehadiranku.
Gadis itu terduduk di pinggiran gedung. Seperti tidak takut terjatuh. Sedang aku masih berdiri kaku dibelakang punggungnya. Sesekali menatap dia heran. Dan menatap sekelilingku. “entah,” jawabku singkat, lebih tepatnya aku masih merasa bingung.
“gak usah bingung,” katanya sambil membalikkan badannya kearahku, lalu menghampiriku, “Catreen,” ucapnya menugulurkan tangan ke arahku.
“Sarah,” aku balas menjabat tangannya, sesekali ku pandang wajahnya.
Catreen tersenyum manis kepadaku. Benar-benar senyuman termanis.
“kamu mau ke pesta?” tanyaku penasaran, tanpa berani menatap terus kearah matanya
“tidak,” jawabnya, “aku hanya senang saja dengan pakaian ini,” lanjutnya kemudian seraya kembali menghadapkan tubuhnya seperti semula, “kalau kamu mau, aku masih punya satu lagi,” tawarannya membuatku geli.
“aaah, tidak. Terimakasih.” Balasku sambil tersipu malu, “ngomong-ngomong kenapa aku ada disini?” tanyaku sambil menggaruk-garuk kepala, sebenarnya tidak terasa gatal
“jangan pernah tanyakan apapun yang kamu alami, karena semua itu akan kamu alami tanpa kamu sadari,” jawabnya serius
“maksudnya?” aku mengerutkan dahi, benar-benar tak mengerti yang dikatakan Catreen.
“kamu akan mengalami banyak hal yang mungkin orang lain tak akan mengalaminya,” tuturnya.
Aku merenung. Mencoba membuka memori-memori tentang peristiwa-peristiwa aneh yang pernah kualami.
“kenapa kamu tahu?” tanyaku semakin penasaran
“aku sudah bilang, jangan tanyakan apapun yang terjadi dalam hidupmu,” jawabnya dengan nada suara ditekan, “selamat datang di dunia barumu, Sarah,” lanjutnya, membuat aku semakin penasaran.
Dunia baru. Memang dunia baru. Dunia yang baru aku rasakan setelah semua orang pergi meninggalkanku. Semua orang yang menyayangiku, namun entah, mungkin kasih sayang itu palsu. Semua orang yang menyebabkan aku harus selalu mengurung diri di dalam kamar. Menjadi pemalu ataupun pendiam. Melukis setiap titik kepedihan hidup yang tak pernah berujung. Semuanya membuat aku merasa hidup hanya ditemani bayangku yang selalu muncul di dinding ketika aku berbaring hendak tidur. Bayangan yang sama percis sepertiku. Bayanganku sendiri.
***
“Tidak mungkin Saar,” Nurma mulai tak mempercayai perkataanku,
“benar, ini memang sulit dipercaya. Dan bahkan dia selalu mengikutiku, dan sekarang tinggal bersamaku,” aku masih bersemangat menceritakan tentang Catreen.
Nurma terdiam. “kamu tanya, wanita itu berasal dari mana?” tanyanya mulai khawatir,
“tidak,” jawabku singkat, “ katanya, aku gak boleh tanya tentang hal aneh apapun yang aku alami,” jelasku,
Nurma menggenggam tanganku. Suasana taman kampus yang sejuk, menghembuskan angin dingin ke sekujur badanku.
“boleh kan hari ini aku  ikut ke kost-an kamu?” Nurma berbicara dengan nada seperti ragu.
“sebelumnya kamu tak pernah izin kalau mau ke kost-an, kenapa sekarang bilangnya gitu?” aku mulai cemberut
“tidak Saraah sahabatku, aku hanya takut mengganggu teman barumu,” jawabnya menyindirku,
“tidak,” jawabku singkat sambil memeluk tubuh Nurma, “makasih ya, kamu selalu ada buat aku,” lanjutku. Nurma hanya mengangguk pelan di pundakku.
***
Semenjak hari itu, Nurma seperti menjaga ku ketat. Dia sesekali menengok ke kost-an untuk melihat keadaanku jika aku tak masuk ke ruang kuliah. Apalagi, setelah akau menceritakan tentang Catreen yang selalu mengikutiku. Selalu tiba-tiba muncul dan tiba-tiba menghilang. Dan tentang Mario, seorang pedagang bunga yang selalu mengirim setangkai mawar merah kepadaku. Bunga itu selalu tergeletak di depan pintu kamarku, tanpa ada yang tahu siapa yang menaruhnya. Semua seperti sihir yang sulit dimengerti.
“pagi ini ada bunga lagi?” Nurma berceloteh dibalik telepon yang menempel di telingaku.
“entahlah Nur, males keluar kamar,” jawabku acuh,”siapapun dia, yang jelas aku ga pernah suka bunga mawar, so tau sih dia,” lanjutku
“emang aneh kamu. Atau mungkin, sebenarnya bunga itu untukku, dia kira kost-an ku disitu karena akhir-akhir ini aku kan sering main kesitu, hahaha,” lanjut Nurma, mengarang cerita
“haha, bisa saja,” jawabku,” coba deh kamu lacak, tanya ke semua penjual bunga, ada ga yang namanya Mario, kalau dia ganteng, nah kamu pacarin, kalo engga, hmmm, lupain aja tentang bunga mawarnya,” lanjutku berusul, kemudian tertawa puas
“dikau,” Nurma berbicara singkat, kemudian telepon kami terputus.
Itulah kegiatan lain saat aku tak bisa bertemu Nurma di kampus. Hanya telepon ini yang menjadi perantaraku dengan Nurma. Meskipun, ada kegiatan baru lainnya. Seperti, Catreen yang akhir-akhir ini selalu mengajakku berpetualang ke tempat-tempat yang belum pernah aku datangi, seperti bar, diskotik, ataupun tempat-tempat yang berbau glamour. Dan kegiatan baruku lainnya, menjadi  pengumpul bunga mawar merah dari Mario si penjual bunga misterius.
***
Aku masih tergeletak di tempat tidur, tubuhku rasanya lemah sekali. Selang infuse mengalirkan cairan infuse kedalam tubuhku, lewat nadi di tanganku. Aku menyadari, aku saat ini sedang berada di dalam sebuah ruangan rawat inap. Meskipun tak ada tubuhku yang terasa sakit, namun rasanya tulang-tulangku meleleh dan tak ada sedikitpun tenaga untuk menggerakan badanku. Dengan samar kulihat seseorang berdiri mengahadap keluar kamar lewat jendela kamarku. Seperti Nurma, dengan kemeja pink yang selalu dikenakannya. Aku mengenal bajunya.
“Nuur,” perlahan ku panggil dia, suaraku benar-benar pelan. Nurma tak mendengarku.
“Nurmaa,” panggilku lagi, “Nur,” aku benar-benar tak bisa bersuara lebih keras lagi,
“Saar,” Nurma membalikkan badannya, dan langsung menghampiriku. “akhirnya, kamu sadar juga,” ucap Nurma sambil meraih tanganku.
“aku kenapa,?” tanyaku, “badanku lemes banget,” lanjutku, menceritakan apa yang aku rasa
“hmmmm,,” Nurma bergumam, Dia seperti berulang-ulang menarik nafas panjang. “Tidak apa-apa. Jangan mikirin yang macem-macem dulu, yang penting sekarang kamu harus sehat!” lanjutnya baru mau bersuara
Aku menatap dalam, menerawang jauh kata hati Nurma lewat sorotan matanya yang sayu. “kamu bohong Nur,” ucapku menebak dengan tepat
Nurma terdiam. Kemudian air matanya jatuh perlahan. “Kamu, kamu di diagnosa sakit…,” ucapannya terhenti, dia menangis tersedu-sedu diatas tanganku yang digenggamnya.
“Nur, aku sakit apa?” tanyaku semakin takut dan penasaran,
“Semua tentang, suara-suara yang selalu menirukan kata hatimu,” suaranya terputus-putus, “semua tentang Catreen,” lanjutnya, masih terputus-putus, “semua tentang pengirim bunga,” suara Nurma seperti menahan beban berat dalam hatinya,
“Iyaa, semuanya kenapa?” tanyaku antusias,
“semua hanya…” kata-katanya semakin terpotong-potong, “hanya halusinasi  dan delusi  belaka,”  Nurma menangis dengan tersedu-sedu. Dan kata-katanya berakhir disitu.
Aku mencoba mencermati kata-kata Nurma. Lalu seketika air mataku benar-benar deras mengalir. Tak sedikitpun aku mampu menyentuh pipiku sendiri untuk sekedar menyeka air mataku. Semua tubuhku kaku. Antara mempercayai dan tidak atas semua yang diucapkan Nurma. Kupejamkan kedua mataku yang dihujani air mata. Saat ini, tubuhku seperti dihempas angin topan dengan hembusannya yang kecang menerpaku. Dalam sudut gelap pandanganku, Catreen dan seorang lelaki menghampiriku.
“Kami akan selalu ada,” Catreen mendekatiku dan menyentuh tanganku,
Laki-laki yang berdiri di samping Catreen tersenyum kepadaku, tangannya memegang sekuntum mawar merah yang sudah layu.
Antara perasaan takut dan bersahabat berkecamuk dalam benak dan hatiku. “gejala skizofrenia ,” suara berbisik tiba-tiba, suara mereka yang selalu tahu akan isi hatiku. Ketakutan seketika menjalar di setiap urat nadiku, dan aku sama sekali tak ingin membuka kedua mataku lagi. Benar-benar tak ingin.
***

footer

Pages

Sponsers