Haruskah jadi budaya baru?


Haruskah Jadi Budaya Baru?
Oleh : Ana Marliana
Beberapa hari terakhir ini semenjak munculnya isu kenaikan harga BBM (Bahan Bakar Minyak) banyak sekali bentuk protes dari masyarakat. Salah satu bentuk protes ini adalah dengan mengadakan aksi atau demo di beberapa lembaga daerah untuk menyuarakan aspirasi masyarakat. Beberapa elemen masyarakat diantaranya mahasiswa dan buruh, yang kerap kali melakukan aksi memprotes kenaikan BBM.

Puncak dari aksi menolak kenaikan BBM ini adalah ketika sidang Paripurna DPR RI (30/3)
di Gedung DPR-MPR Republik Indonesia, Jakarta. Mahasiswa dari beberapa daerah berkumpul dan menggelar demo besar-besaran menentang kenaikan BBM. Aksi ini merupakan suatu tindakan yang diperbolehkan di negara yang menyandang asas demokrasi. Semua orang bebas menyuarakan kata hati mereka untuk kelangsungan dan kesejahteraan hidup mereka.

Aksi yang awalnya berlangsung tertib harus berakhir dengan anarkis. Ini disebabkan karena pemerintah seolah semakin senang mempermainkan nasib rakyat. Mereka seperti bertele-tele untuk menentukan kebijakan bagi rakyat dengan membuat rakyat menunggu tanpa kepastian. Khususnya para wakil rakyat yang saat itu sedang menjalankan sidang yang salah satu agendanya membahas mengenai keputusan naik atau tidaknya harga BBM.
Para wakil rakyat yang duduk di parlemen masih saja ada sebagian yang terlihat main-main saat sidang berlangsung. Sidang tidak berlangsung tertib, bahkan sampai memakan waktu yang cukup lama. Sehingga, emosi para demonstran pun ikut naik dan imbasnya adalah para demonstran merusak dan meruntuhkan pagar gedung DPR-MPR RI.
Atas aksi ini, tidak selayaknya kesalahan sepenuhnya dilimpahkan pada demonstran. Sebab, jika saja peremerintah mau mendengar suara mereka dan mau berdiskusi atas isu kenaikan BBM ini, tentu tindakan anarkis seperti itu dapat dihindari. Tapi kenyataannya, pemerintah seolah sudah tuli dengan aspirasi rakyat. Mereka tak acuh melihat keadaan dan nasib masyarakatnya. Sehingga, ini menjadi budaya baru masyarakat kita, yang satu sisi memperjuangkan nasib, dan satu sisi tak perdulikan nasib.
Berantas aksi
Menanggapi aksi mahasiswa yang mulai anarkis, polisi mulai bergerak menghalau mundur para demonstran. Bahkan polisi melakukan beberapa aksi mengusir para demonstran. Polisi melakukan penembakan dengan senjata gas air mata, penyemprotan dengan water cannon, penangkapan, penyerangan, perampasan kamera dan memory card milik jurnalis, dan pengejaran demonstran hingga ke pemukiman penduduk.
Tindakan yang dilakukan oleh kepolisian ini bisa disebut melanggar HAM. Sebab tindakan ini bertentangan dengan beberapa pasal Peraturan Polri maupun Prosedur Tetap, diantaranya Perkap Nomor 16 Tahun 2006 tentang Pengendalian Massa, polisi telah melanggar pasal Pasal 7 ayat (1). Aparat kepolisian telah bertindak arogan dan dan terpancing emosinya oleh prilaku para demonstran.
 Kedua, Perkap Nomor 9 tahun 2008 tentang Tata Cara penyelenggaraan Pelayanan, Pengamanan dan Pengamanan Perkara Penyampaian Pendapat di Muka Umum, khususnya para aparat telah melanggar prinsip nesesitas (setiap anggota Polri yang dalam melakukan tindakan harus didasari oleh suatu kebutuhan untuk mencapai tujuan penegakan hukum, yang mengharuskan anggota Polri melakukan suatu tindakan yang membatasi kebebasan seseorang ketika menghadapi kejadian yang tidak dapat dihindarkan). Dan prinsip proposionalitas (setiap aggota Polri yang melakukan tugas harus senantiasa menjaga keseimbangan antara tindakan yang dilakukan dengan ancaman yang dihadapi dalam penegakan hukum).
Begitu mengecewakan atas tindakan yang dilakukan aparat ini. Begitu jelas peraturan yang sudah dibuat dan tercantum dalam Standar Operasi Prosedur (SOP). Tetapi masih saja para aparat terpancing emosinya dan seakan membatasi hak demonstran untuk menyuarakan pendapatnya.
Tindakan polisi ini membawa dampak negatif. Beberapa jurnalis bahkan menjadi korban dari tindakan polisi ini. Mereka para jurnalis, harus ikut tersemprot oleh cairan yang polri lancarkan pada para demonstran. Kemudian, cairan ini disebutkan oleh Kepala Laboratorium Kimia Universitas Indonesia Sunardi adalah asam sulfat. Efek dari cairan ini adalah rasa panas dan perih di kulit kemudian menjadi luka bakar.
Inilah seharusnya yang dihindari terjadi oleh aparat kepolisian. Saat penggunaan alat-alat harus sesuai prosedur. Jangan main tembak, seperti sudah muak dengan aksi masyarakat. Padahal masyarakat pun punya hak untuk melakukan aksi dan menyuarakan aspirasi.
Seharusnya, polri melakukan tindakan persuasif bukan sama-sama anarkis. Semestinya, polisi mampu menertibkan massa dengan cara-cara yang persuasif. Bagaimana massa tidak semakin marah, sebab massa yang sedang bergejolak kemudian dihadapkan dalam kondisi pengamanan yang tidak sesuai prosedur.
Miris memang melihat fenomena masyarakat kita. Budaya baru mungkin akan tercipta, jika antara pemerintah dan masyarakat tidak ada kedekatan. Cobalah, pemerintah mau mendengar aspirasi masyarakat dan tahu isi hati masyarakat. Jangan memberi beban berat terhadap masyarakat. Masyarakat melakukan aksi protes ini bukan semata-mata kesal terhadap pemerintah. Tetapi masyarakat hanya ingin memperjuangkan nasib mereka.
Masyarakat hanya menghindari dampak-dampak besar yang akan menimpanya jikalau BBM tetap dinaikan. Pemerintah seperti memperburuk keadaan, bukan memperbaiki keadaan. Menambah jumlah masyarakat miskin, meningkatkan tindak kriminalitas dan mengurangi kesejahteraan masyarakat.
Demikian, meskipun keputusan sidang Dewan Perwakilan Rakyat memilih opsi dua dan untuk sementara menunda kenaikan harga BBM selama 6 bulan, masyarakat tetap berharap pemerintah yang memiliki kebijakan untuk memperjuangkan nasib rakyat mempunyai strategi-strategi kreatif untuk mengatasi persoalan harga BBM ini. Dan para wakil rakyat benar-benar dapat mewakili suara rakyat. Semoga.

Related Post



Posting Komentar

footer

Pages

Sponsers