Jurnalisme sastrawi


BUNGLON, KINI BERSAYAP
Karya Ana Marliana


S
ebuah hidup yang penuh perjuangan dan pengorbanan harus kulakukan. Tak ayal, meskipun usiaku baru 17 tahun, tepatnya lima hari lagi pada 5 Mei aku akan berulang tahun. Dan hari ini adalah kelima kali pula aku harus pergi membenamkan diri dalam cara-caraku sendiri untuk menghilangankan kekesalan dan kepenatan yang aku hadapi. Aku tak pernah tahu, apakah ini jalan terbaik, ataukah jalan terbalik.

Aku langkahkan kaki dengan persaan marah,
kesal, kecewa dan malu menuju pintu pagar rumahku. Tidak ada lagi yang menahanku pergi dengan keadaan seperti ini. Mereka seolah tak peduli, atau mungkin mereka selalu membenarkan bahwa aku “anak yang susah diatur”, itulah kata-kata yang sudah ratusan kali menyambar telingaku jika harus kembali berdebat dengan mereka. Walaupun dalam hal-haal yang kecil.
Sepatu kets putih yang ku kenakan tak seputih warna di hatiku saat ini. Mungkin tepatnya warrna merah, ungu ataupun hitam sedang berpadu di dalamnya. Menghasilkan warna apa? Aku tak ingin memikirkannya. Rasanya sore kali ini lelah sekali. Energi ku benar-benar terkuras, hanya menahan air mata yang enggan aku teteskan. Sayang, teramat sayang.
Aku menuju rumah keduaku, yaitu asrama sekolah. Meski tak selengkap dirumah, tempat tidur, meja belajar, makanan serba tersedia, tapi disini aku begitu damai. Ketenangan ini tak pernah aku dapatkan di rumah. Entah. Perjalanan menuju asrama tidak menyita waktu. Mungkin karena aku ketiduran barusan.
Rumah keduaku terletak agak jauh dari jalan raya, sekitar 500 meter harus berjalan dulu. Tapi menurutku ini adalah tempat yang nyaman, nyaman untuk belajar, dan tentunya nyaman untuk sejenak melupakan permasalahanku di rumah.

***
Pesantren Darrusalam, menjadi saksi bisu. Pesantren ini memiliki 9  ruang kelas – termasuk ruangan untuk TK, MI (Madrasah Ibtida’iyah) dan MA (Madrasah Alliyah), 1 perpustakaan, 1 aula, 1 asrama putra, dan 1 asrama putri dan sebuah masjid bernama As-Salam. Meskipun sekolahku sesederhana ini tapi rasa cintaku tak pernah sederhana. Jumlah siswa yang bersekolah pun tak sebanyak sekolah lain, layaknya SMA, SMK, atau MA yang lain.
Ruang kelas ini rasanya luas, tidak banyak siswa yang duduk di dalamnya. Hanya berjumlah 17 siswa –laki-laki 6 dan perempuan 11- termasuk aku. Tapi, dengan jumlah yang terhitung sedikit dalam satu angkatan, ada hal yang tidak pernah dirasakan oleh mereka yang memiliki jumlah siswa ratusan atau bahkan ribuan di tiap angkatannya. Aku berani jamin. 17, menjadi awal kedekatan kami. Disini rasanya aku memiliki 16 orang saudara yang tanpa dilahirkan dari rahim ibuku. Tapi dilahirkan dari rahim gedung sekolah ini. Selain kawan-kawan, aku memiliki orang tua kedua, yakni para guru. Guru yang mengajar disini berjumlah 11 orang termasuk kepala sekolah, dan pimpinan pesantren.
Beralih ke asramaku. Disini terdapat 4 buah kamar tidur. Tiap kamar di isi oleh empat siswi. Didalamnya ada dua buah kasur tingkat –tingkat dua-, meja belajar dan lemari baju. Satu kamar lagi ada di lantai dua asrama. Diatas tidak ada kasur tingkat, melainkan sederetan kasur yang digelar di atas lantai, dan lemari. Satu kamar ini bisa dihuni oleh 8 orang. Ini adalah wilayah kekuasaan anak-anak kelas XI. Disamping kamar untuk kelas XI terdapat sebuah mushola yang cukup luas – kami gunakan untuk sholat berjamaah, belajar, bahkan terkadang tidur siang -. Disampingnya lagi ada sebuah gudang. Sayanganya, nyaliku begitu ciut, tak berani melihat isi gudang ini.
Menuju tangga. Tepat di bawah anak tangga terdapat 3 buah kamar mandi. Disini banyak sekali kejadian lucu. Dari kebiasaan jahil anak-anak remaja, sampai merusak pintu kamar mandi, dan pihak sekolah berulang-ulang mengganti. Kami sering dimarahi, tapi kejadian itu masih beberapa kali berulang lagi. Inilah kejahilan aku bersama teman-teman seangkatanku.

***
“Risty, mau latihan gak?” suara pintu kamarku diketuk, bersamaan dengan suara orang yang mengetuk. Aku yang sedang terbaring di kasur hanya diam. “Hey, latihan gak?” dia berteriak sambil masuk ke dalam kamar dan menghampiriku. Aku masih diam. Lebih tepatnya masih asik sendiri dengan handphone di tanganku. “Euuh, ngomong sama kamu mah sama kaya ngomong sama tembok. Heey!” suara dia kesal, lalu tangannya menjambak rambutku. “Apa?” tanyaku datar. Mata dia melotot kesal lalu memalingkan wajahnya. “hehehe, iya latihan. Pak Mario nya udah dateng?” dia tak menjawab.
Hari ini memang ada latihan silat. Lagi-lagi ikut organisasi silat ini menjadi ajang perdebatan dengan mereka.
“ buat apa ikutan silat?” kata-kata sinis kakak laki-laki ku keluar. Aku paling tidak bias menahan emosi, jika Radit sudah mencampuri urusanku. “Bukan urusan kamu!” jawabku ketus. Radit hanya tertawa sinis mendengar jawabanku. Aku bergegas meninggalkan ruang tengah rumahku. Tak mau memancing emosi lebih jauh.
Lebih tepatnya pergolakan batin yang aku rasakan. Sama sekali mereka acuh dengan apa yang menjadi kesukaanku. Tak ada support yang sifatnya langsung dihadapanku. Aku belajar tidak terus terang menyayangi mereka. Semua menjadi seperti sandiwara.

***
Latihan silat yang dilaksanakan sebanyak tiga kali dalam seminggu cukup menguras energi. Lelah, tapi tidak pernah terasa. Semua kerja kerasku akan menguatkan dalam pertandingan selama 3 bulan. Latihan fisik, teknik ataupun sparing aku lakukan di dua tempat, tempat pertama adalah perguruan dan kedua di IPSI Sumedang – kumpulan atlet silat -.
Perjuanganku menjadi atlet sungguh keras, terutama di perguruan. “Ayo terus pukul, terus pukul,” teriak pelatih memintaku terus memukul pecing – alat untuk latihan kekuatan pukulan dan tendangan untuk olahraga beladiri, terbuat dari busa yang padat, dibungkus dengan kain karet - cukup membuat jari-jari tanganku berdarah. Aku harus menahan perih ketika bekas-bekas luka itu kuberi obat luka.
Latihan olah fisik yang melelahkan. Push up­, banding, jumping, sit up, back up, dan lari tentunya, menjadi hal wajib yang harus aku lakukan tiap awal latihan. Selain itu latihan keseimbangan – menahan berat badan - cukup menguatkan otot-otot tangan dan sikut. Program wajib yang pertama harus aku lakukan sebagai calon atlet beladiri silat. Aku sangat menikmatinya.
“ HAAAH, nurunin berat badan 8 kilo?” Tanya Aulia kaget, aku mengangguk. Program ku kali ini adalah diet. Pertandingan silat yang akan aku hadapi memerlukan porsi berat badan ideal. “Supaya kamu diem di kelas A Junior. Kelas itu disesuaikan dengan berat badan. Dari 38 kg-43kg,” Pak Mario menjelaskan tujuan memintaku berdiet. Berat badanku kali ini adalah 48 kilo.
Aulia masih menunjukkan wajah melongo. “Gimana yah caranya diet? tanyaku sambil menggaruh-garuk bagian belakang kepala, yang rasanya tiba-tiba gatal.
Apel, menjadi buah-buahan pertama yang menjadi sahabat dietku. Dalam sehari aku bisa menghabiskan 5 buah apel hijau. Sebagai pengganti nasi, apel cukup membuat perutku kenyang dan porsi makanku berhasil aku kurangi. Minimal 2 kali makan nasi dalam sehari dengan porsi sedikit.
Selain apel, dan mengurangi konsumsi nasi. Program diet yang sangat terasa lelahnya adalah ketika aku harus lari di siang hari dengan memakai sauna. Cucuran keringat memenuhi sauna. Tambah lagi, jika hari libur, aku harus lari ke puncak gunung. Inilah kehidupan baru yang harus aku jalani, yang menjadi pilihanku.
Aku tak pernah mengeluh dengan pilihanku ini. Akan kubuktikan pada mereka, bahwa aku mampu berprestasi di bidang olahraga. “Pertandingannya emang kapan Ris,” tanya Aulia saat aku dan beberapa kawanku berdiskusi di dalam kelas. “2 minggu lagi,”, semua teman-temanku memberikanku dukungan. Walaupun dukungan itu terkadang implisit dari candaan mereka. Ini menjadi kekuatan kedua bagiku dalam menghadapi pertandingan.
“Ayo semnagat ya Ris, kamu harus yakin bisa jadi juara di pertandingan nanti. Hadapi lawan dengan teknik dan strategi yang sudah diajarkan, maen dengan tenang, okee siap?” kata-kata pelatih terasa menyambar. Aku menganggukan kepala sambil tersenyum yakin.

***
Pagi ini aku terpaksa meninggalkan ruang kelas, jam 9 pagi ini pertandingan silat se- Kabupaten Sumedang akan segera dilaksanakan. jam tanganku menunjukan pukul 07.30, dan aku masih ada di lingkungan sekolah.
Pertandingan akan digelar di GIM (Graha Insun Medal) yang terletak dekat sekolah MTs ku dulu, sekitar 4 km. Aku bergegas menemui kepala sekolah pesantren, “ Pak, hari ini saya izin, ada pertandingan silat di GIM,” aku berkata langsung ke tujuan, “ Oh iya? sama siapa aja kesananya?”, “ Saya sama Aulia pak,” jawabku cepat, karena diburu waktu. “Okee, harus menang ya!” Pak Saeful beranjak dari duduknya, mendekatiku dan Aulia sambil memegang pundak, tanda memberi semagat.

***
Sesampainya di GIM ternyata di dalam gedung tidak ada orang, Aku dan Aulia datang terlalu pagi. Padahal jam sudah menunjukan pukul 08.10 WIB. karena taka da kegiatan lain akhirnya aku dan Aulia memutuskan menunggu.
Satu persatu orang datang memasuki gedung. Rombongan pemain pun dating bergerombol. sekitar jam Sembilan lebih, suasana dalam gedung ramai, riuh dengan orang-orang.
Pertangdingan pertama dimulai, kelas pertama yang bertandinng adalah kelas A. Dan aku tak berhasil menduduki kelas A, melainkan kelas C – karena berat badanku hanya turun 3 kilo, dari target 8 kilo- kelas C klasifikasi berat badan 45 kg-50 kg. Program dietku gagal mencapai tujuan, tapi ini tidak menjadi hambatan. Kelas A dan B banyak peminat, pertandingan berlangsung cukup lama.
“Persiapan untuk Risti malawan Anisa, pertandingan akan segera dilaksanakan,” suara MC di pinggir lapangan menggema ke seisi rauangan.
“Ayo risty, siap-siap ganti baju, lalu pemanasan!” pelatih dari IPSI memintaku untuk segera bersiap-siap.
Seusai mengganti pakaian dengan pakaian silat, aku bergegas melakukan pemanasan. Pertandingan pertama ku dimulai. Memasuki area pertandingan aku cukup nervous karena ini kali pertama aku mengikuti pertandingan silat. Selama 9 menit berjibaku, dengan teknik dan strategi yang sudah direncakan, akhirnya aku bias menaklukan lawan pertamaku.
Kemenagan di pertandingan pertama membawaku melanjutkan pada pertandingan kedua. Dipertandingan ini rasa gentarku hilang, aku cukup percaya diri dengan kemampuannku. Dengan teknik dan strategi sama, melewati menit yang sama pula aku berhasil memenagi ronde ini.
Dengan napas yang masih terengah-engah dalam jeda wakti istirahat untuk pertandingan ketiga, aku menyaksikan semua kawan-kawan, pelatih dan guru memberiku semangat dari tribun penonton yang mengelilingi arena pertandingan. Andrenalinku seketika naik, dan semangatku membara.
Sekilas muncul dalam benakku, keluarga. Hatiku tiba-tiba menciut. Tak lama aku tertegun, kuhilangkan segala pikiran tentang kesedihanku, aku kembali terfokus pada pertandingan ke tiga yang akan aku hadapi.
Dipertandingan ketiga, lawanku cukup tangguh. Aku bahkan sempat terkena pukulanm dan tendangan. Namun, dengan cepat pula aku balas. Pertandingan ketiga ini terassa sangat melelahkan. Mungkin karena pertandingan ketiga ini hanya mengandalkan sisa-sisa tenaga yang masih ada. 9 menit pertandingan ketiga ini berakhir. Wasit menghentikan pertandingan. Dan menyebutkan aku sebagai juaranya.
Rasa haru seketika muncul menghujani hatiku. Tak pernah aku meembayangkan akan seperti ini. Di tribun penonton semua kawanku beretiak girang.. Mereka semua menunjukan wajah bahagia melihat kemenanganku.
Pemberian tropy dilaksankan pada hari itu juga, sekitar jam tiga sore.
“Risty Aura, peraih juara pertama kelas C, di harap memasuki arena untuk penyerahan trophy dan hadiah!” Suara MC meriuhkan kembali tribun penonton yang di isi teman-temanku. Riuh tepuk tangan menggema kembali ke seisi ruangan, termasuk ruang dihatiku.
Mendali emas, kini tergantung di leherku. Rasa bangga dan haru merebak di sekujur tubuhku. Alhamdulillah Ya Allah, Engkau telah menganugerahkan ni’mat yang luar biasa kepada hamba tersembunyi rasa syukur yang sangat dalam di lubuk hatiku.

***
Selepas pertandingan dan penyerahan trophy aku dan kawan-kawan kemabali ke sekolah. Tentunya ke asrama. Semua kawan-kawanku memberikan ucapan selamat.
“Selamat ya Ris, kamu hebat!” Aulia menjabat tanganku, dan kemudian memelukku. “Selamat, Ris, boleh liat medalinya?” Rahma yang kemudian menghampiri, semua teman-teman riuh –seperti biasanya- membicarakan pertandinganku. Aku hanya tersenyum bangga, terkadang juga terselip ras malu –jadi topic pembicaraan-.
Hari ini Allah telah melimpahkan karunia yang teramat besar dalam hidupku. Kebahagiaan yang tidak bisa aku gambarkan dengan apapun. Tak ada bandinganya.

***
Perjalanan menuju rumah kali ini aku lakukan dengan penuh semagat. Karena, kepulanganku kali ini membawa kabar yang membahagiakan.
Pintu rumah kubuka pelan. Aku bukan orang yang secara langsung bias menunjukan kebahagiaan atas prestasi yang baru saja aku raih. Kulihat rumah sepi.
“Maaah, mamah,” aku beberapa kali memanngil ibuku. “Eh, Risty,” jawab ibuku standar. Aku tak ingin mengatakan apapun yang tengah menimpaku. Aku bergegas langsung ke kamar. Kukeluarkan medali emas dari dalam task u, dank u gantungkan tepat di atas meja belajarku. Kupandangi tiap garis dan tulisan yang ada pad medali. Mataku tiba-tiba terasa perih.
Kurebahkan tubuhku di tempat tidur, seraya mata masih ku arahkan ke medali yang terntung. Semua perjuanganku terlintas dalam benakku. Ya Allah, semua pengorbananku tidak pernah sia-sia. Aku hanya mampu berkata-kata dalam hati. Sambil berulang-ulang menghapus air mataku.
“Risty, makan!” teriak Ibu dari arah dapur. Aku mengacuhkannya. Rasanya kepedihan semakin menjalar di dalam hatiku. membawa medali ke sekolah dank e rumahku memberikan warna yang sangan kontras.
“Risty, lagi apa? ayo makan, mamah masakin ikan goring kesukaanmu,” kata-kata Ibu semakin membuatku ingin menagis. Aku tak bisa menunjukan kebahagianku ini di hadapanmu Ibu. Ibu kemudian membuka pintu kamarku. wajahnya tampak aneh melihatku berbaring dengan keadaan seperti orang yang terkena flu. Lalu matanya seketika menoleh kea rah medali. lalu menoleh lagi ke arahku.
Mata Ibuku berkaca-kaca, lalu tersenyum. “Ayo makan, mamah tunggu di dapur,” Ibu lalu meninggalkan kamarku. Aku sedikit lega, setidaknya tanpa aku bicara, ibu tahu. Aku bergegas mengganti pakaian seragamku. Lalu menghampiri Ibu.
Mata Ibu merah. Aku tak menanyakan kenapa. Tujuanku disini adalah makan. Dan segera ku ambil makananku lalu makan.
“Siapa yang juara dua?” tanya Ibu di sela-sela makan kami. Aku hanyak menggeleng. Ibu menatapku, dan sejenak menghentikan makannya. Lalu dia tersenyum. Tepatnya menyembunyikan air matanya. Aku dan Ibu adalah orang yang sulit menunjukan rasa kasih. Terutama aku, rasa trauma tidak dianggap, membuatku malas memberitahukan apapun pada keluargaku. Semua menjadi rahasiaku sendiri.
Anggota keluargaku yang lain tak pernah menanyakan bagaimana perjuanganku sampai memperoleh medali itu. Hingga saat ini, itu masih menjadi cerita bagi diriku sendiri.

***
Setiap orang pasti ingin berprestasi. dan setiap prestasi ingin dihargai. Karena prestasi yang diraih bukan semata-mata kebetulan atau keberuntungan. Tapi semua itu penuh dengan pengorbanan. Pengorbanan dalam segala hal.
Kemenangan itu membuatku semakin meminati dunia olahraga. Beberapa cabang olahraga sering aku ikuti. Setelah aku menginjakan kaki di kelas XI aku tidak pernah ikut lagi dalam pertandingan silat. Namun hanya sekedar ikut latihan, itu sering jika sempat. Kelas XI ini aku ingin focus pada belajar. Karena tahun depan aku akan segera meninggalkan tempat ini. Dan tentunya, aku harus  kembali menuyusun hidupku di lembar yang baru.
Lembar baru di dunia olahraga kali ini ku isi dengan olahraga futsal. Meskipun olahraga futsal ini adalah olahraga yang kali pertama aku geluti, Namun minatku terhadap olahraga ini cukup kuat. Teman-teman baruku di tim futsal menjadi rekan seperjuangan. Beberapa pertandingan futsal sudah aku ikuti. Termasuk cidera di kaki sudah sering aku rasakan.
Beberapa event pertandingan fusal pernah aku ikuti bersama tim. Selama 2 tahun aku bergelut di dunia futsal, akhirnya November 2012 menjadi kemenangan tim putri Psikologi pertama kalinya di event SKP 2012.
Sebelum laga final di mulai, aku dan kawan-kawan satu tim mendadak nervous, mungkin karena inilah perrtama kalinya kami berlaga di puncak pertandingan, yaitu final. Peraihan juara ke-II di pertandingan antar Universitas se- Bandung raya ini menjadi kebanggan. Begitupun kawan-kawan satu tim. Namun, ada satu perasaan yang tersembunyi dibalik senyum bahagiaku, yaitu perasaan menyesal, karena malam itu aku tidak bisa bermain maksimal. Entah, apa alasannya aku menjadi seperti itu.
“ Saya bangga dengan prestasi yang dicetak tim putri, semua adalah berkat perjuangan dan pengorbanan mereka,” pelatih dengan banngga menyarakan kata-kata itu seusai pertandingan selesai. Saya sedikit terharu.
Terlebih lagi, bukan hanya itu. Desember 2012 ini menjadi bulan yang membahagiakan, khususnya bagiku. Tim ku berhasil membawa pulang trophy juara I pada event Lifuma (Liga Futsal Mahasiswa) yang di adakan salah satu UKM di kampusku. Tim ku berhasil menjadi juar I setelah berlaga di final melawan tim dari jurusan Ilmu Hukum.
“Akhirnya terbayar juga. menjadi juara satu,” kata pelatih yang setia mengajari kami
Kebahagiaan yang saat ini aku rasakan sama persis dengan kebahagiaan saat aku meraih juara I pada olahraga beladiri silat. Bahkan lebih besar lagi aku rasakan.
“Selamat ya kapten, telah menjadi Best Player,” kata panitia acara Lifuma UIN SGD Bandung malam itu saat penyerahan trophy.
Semua suasana kembali seperti dulu. Rasanya ingin kuhamburkan ucapan terimakasih kepada orang-orang yang ikut andil dalam kebahagiaanku. Perolehan kategori ini sama sekali tak pernah aku bayangankan. Ini kembali menjadi ni’mat-Nya yang sangat besar bagiku.***

---TAMAT---

Related Post



Posting Komentar

footer

Pages

Sponsers