Menari di dayung senja

Menari Di Dayung Senja
Oleh : Ana Marliana


Deburan ombak yang saling berkejaran dihempas angin seolah sepasang sejoli yang sedang memadu cinta di malam pertamanya. Mereka berpadu dengan mesra. Saling berjabat, saling menyentuh, bersenda gurau, tertawa riang bahkan seolah berbaring bersama dan masuk dalam mimpi indah bersama-sama pula.

Di bibir pantai senja itu terdampar sebuah perahu nelayan. Perahu yang ikut menari kala tubuhnya terhempas ombak. Di ujung badan perahu kayu
itu berdiri seorang anak perempuan berusia 7 tahun yang ikut pula menari bersama perahu yang di tumpanginya. Seorang anak berambut ikal gantung sebahu, dengan t-shirt berwarna biru langit, namun lebih tepat biru tua yang sudah luntur, memakai rok kuning selutut dengan motif bunga di sekelilingnya sesekali pun ikut menari, terhempas angin. Tubuhnya menghadap laut yang luas, matanya menerawang seperti sedang mencari dan membayangkan tentang keberadaan ujung laut di hadapannya kini.

“ Ree…” sahut bocah lelaki dari bibir pantai,
Bocah lelaki itu ternyata memanggil anak perempuan berbaju biru tadi.

“Reee…” merasa tak ada respons, bocah laki-laki itu kembali menyahutnya.

“Reee…” sahutan itu terlempar kembali pada anak perempuan yang sejak tadi hanya berdiri kaku di ujung perahu, tanpa gerakan sedikit pun dari tubuhnya.

Bocah laki-laki itu pun memilih naik ke atas perahu, dan menghampiri anak perempuan itu. “Reee..” sapanya, kali ini tangan bocah lelaki itu menyentuh pundak Kayre. Seolah sebuah patung, Kayre tanpa respons apapun. Kemudian bocah laki-laki itu memeluk tubuh Kayre. Memang tubuh bocah lelaki itu lebih tinggi dari Kayre. Dan benar-benar, tubuh Kayre seperti beku.  Masih tanpa respons apapun.

“Ree, semalaman kamu disini,” bisik bocah laki-laki itu tepat disamping telinga Kayre, “aku khawatir kepadamu,” lanjutnya, kemudian mengecup pelan rambut Kayre, “aku benar-benar khawatir,” tegasnya kembali berbisik di telinga anak perempuan itu.

Kayre dan bocah lelaki itu berayun di atas perahu nelayan yang masih menari di tepian pantai. Mereka sama-sama menatap jauh ke ujung laut biru, ditemani terpaan angin dan riakan ombak.
“Kaka…” suara lirih teralun dari mulut Kayre.
Pelukan bocah lelaki itu seketika terlepas, dan wajahnya menatap kearah Kayre. Memastikan yang bersuara benar-benar Kayre.
“Kakaaa,” ulangnya kembali,
“Iya Ree, ini kaka.” Jawabnya sigap, tangannya menyentuh pipi Kayre.
“Kakaaaa,” sahutnya lagi, kali ini air matanya meleleh.
“Kenapa menangis?” tanya bocah lelaki itu.
“Apakah ibu ada di ujung laut ini, Ka?” keluhnya berguguran bersama air mata di pipinya.
“Ibu?” tanya bocah lelaki itu,”ibu siapa?” tanyanya lagi dengan suara pelan, seperti tak ingin ada orang lain mendengarnya.
“Ibu,” jawab Kayre singkat.
“Ayah tak mencarimu?” tanya bocah lelaki itu.
“Ayaaah???” Suara Kayre terdengar bingung. Matanya masih menatap ujung laut yang tak bertepi dengan air mata yang masih sesekali menetes.
Bocah lelaki itu pun kembali memeluk tubuh Kayre. Kali ini pelukan itu terlihat erat. Tubuh Kayre tenggelam dalam pelukan bocah lelaki itu. Kayre masih teguh dengan pandangannya, begitu pun bocah lelaki itu.
***
Suasana malam di laut memang sangat indah. Itu tergambar dari rona wajah Kayre. Saat ini  anak perempuan yang lugu pemilik rambut ikal gantung dan mata sayu itu berbaring di tepi laut. Kakinya menjulur kearah air laut, dan sesekali bahkan tersapu ombak. Namun senyum yang terpancar dari bibirnya, menandakan kali ini dia sedang berbahagia. Wajahnya menghadap ke langit bertabur bintang, yang saling berkerlip.
“Ibuuuu..” sesekali mulutnya menyuarakan kata hatinya,
“Apa ibu ada disana? Ucapnya bertanya, “menjadi salah satu bintang yang hadir di langit sana?” jelasnya bertanya lagi.
Kemudian ujung bibirnya tersenyum tipis. Matanya mengercit, memandang bintang seolah ingin terlihat lebih dekat. Sesekali jari telunjuk dan ibu jarinya disatukan hingga membentuk lingkaran, lalu dijadikannya teropong untuk menerawang bintang-bintang yang bertebaran di langit luas.
“Aku senang kalau ibu jadi salah satu bintang di sana,” katanya, kemudian tersenyum lagi. “naaah, bintang yang itu kan Buu?” katanya bertanya, kali ini dia membuat teropong dari tangannya dan menempelkan di mata kanannya, sedang mata kirinya memicing, telunjuknya menunjuk satu bintang yang paling bersinar di langit sana.
“Reee,” sapa bocah lelaki yang tiba-tiba terbaring disampingnya.
“Kaka?” jawabnya kaget, “lihat deh Ka, bintang itu. Itu ibu, Ka.” ucapnya bercerita bernada penuh kerinduan terhadap ibunya. Jari telunjuknya yang mungil masih menunjuk satu bintang di langit.
“Reee,” ucap bocah lelaki itu terhenti, “Ibu siapa?” tanyanya kemudian dengan suara yang benar-benar pelan, bahkan hampir berbisik.
“Ibu, Kaaa,” jawab Kayre yakin, matanya menoleh sekejap kearah bocah lelaki disampingnya.
Bocah lelaki itu hanya menatap Kayre dengan mimik bingung. Kemudian matanya beralih ikut memandang bintang-bintang di langit.
***
Suasana riuh, gaduh dan ramai menepi di bibir pantai. Banyak orang berkumpul di bibir pantai. Suasana yang terjadi musiman, karena hari ini adalah awal musim melaut. Suara orang bercampur baur dengan deburan ombak yang terdengar bergemuruh. Orang-orang saling berteriak, mengobrol dan tertawa. Suara senda gurau anak-anak kecil yang saling berlarian di pinggir pantai sedang bermain ombak dan pasir, ikut meramaikan suasana pagi itu.
“Kay dimana? seorang lelaki paruh baya bertanya pada seorang pemuda yang sedang melepaskan ikatan perahunya dari samping bibir pantai.
“tidak tahu,”jawab pemuda itu singkat
“Kaaaayy… Kaayyy..!” lelaki itu berteriak kencang di tengah kerumunan orang di pinggir pantai.
“Lihat Kay?” tanyanya pada seorang wanita, “ lihat Kay?” tanyannya lagi pada seorang pria,
“Lihat Kaay?” tanya laki-laki itu kemudian pada seorang anak yang sedang bermain bola pantai
“tidaaaakk,” jawab anak laki-laki itu, kemudian dia berlari mengejar bola yang sudah dilempar kawan bermainnya.
Laki-laki itu berdiri putus asa. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya,. Nafasnya masih terengah-engah, dan kedua tangannya kini memegangi pingggangnya.
“kemana anak itu?” ucapnya kesal, “ dia tahu ayahnya akan melaut, kenapa tidak datang?” lanjutnya dengan kesal dan tersendat-sendat. “ harus mencari kemana lagi ini?” celotehnya, matanya melirik kanan dan kiri mengharap menemukan sosok putrinya.
“Ayaaaaaaaaaaaaahh..” Kayre berteriak dibalik badan ayahnya
“Kayy, ayah mencarimu, kamu dari mana saja?” bentak ayahnya, sambil memegang bahu Kayre dengan sentuhan yang agak kencang.
“ayo cepat, ayah belum menyiapakan perahu kita Kay,” ucapan ayahnya kali ini menghalus,
“Maaf ayah,” jawab Kayre dengan wajah tertunduk.
“lain kali kasih tahu ayah kamu mau pergi kemana, ayah pusing mencarimu,” ucap ayahnya, menghiraukan Kayre yang tertunduk menangis.
“maaafff,” ucapnya pelan dan lirih,
“ayo cepat!” tangan ayahnya menarik tangan Kayre yang mungil.
Kayre mengikuti ayahnya, dengan muka yang masih tertunduk.
“Reee!” sahut bocah laki-laki yang berdiri tepat di samping perahu yang terdampar rusak.
Kayre menoleh kearahnya. Wajahnya lagi-lagi tanpa ekspresi. Mungkin kali ini karena dia sedang sedih dibentak oleh ayahnya.
“Cepat, Kay!” ayahnya kembali bersuara
Kayre memalingkan wajahnya dari bocah laki-laki itu dan kembali mengikuti ayahnya berjalan dibelakanganya.
Ternyata suasana riuh dan gaduh tak bisa mempengaruhi suasana hati Kayre. Suasana hati muram yang tetap dia rasa. Kali ini dia akan ikut berpetualang menangkap ikan bersama ayahnya. Ini adalah kali pertama dia berlayar di tengah terpaan angin kencang di atas perahu nelayan yang mengapung di laut lepas. Seharusnya Kayre merasa senang, karena dia akan berlayar. Namun sepertinya tidak, matanya malah sayu dan mukanya cemberut.
“Kay, ambil dayungnya!” perintah ayahnya yang lebih dulu naik ke dalam perahu layarnya.
Kayre meraih dayung yang bersender di samping badan perahu, kemudian tangannya meraih pinggir perahu dan naiklah dia dengan lincahnya melompat.
***
Berlayar di tengah laut rasanya sama seperti bermimpi terbang di udara. Tubuh mungil Kayre yang terduduk manis terombang ambing di atas perahu kayu. Sedangkan ayahnya sibuk menebar jala ke bawah laut seraya sesekali bersenandung beberapa lagu.
“Kenapa dayung ini tak pernah dipakai Yah?” tanya Kayre yang kebingungan dengan dayung yang tergeletak disampingnya.
Ayahnya dengan acuh tak menjawab pertanyaan Kayre. Kayre dengan rona sedih menatap dayung bercat biru dan putih yang bergaris-garis layaknya marka  jalan disampingnya. Tangan mungilnya kemudian menyentuh garis-garis abstrak warna-warna cat di dayung itu, seraya sesekali meneteskan air mata.
Semakin jauh perahunya berlayar di laut, semakin dekat pula impian Kayre menemukan ujung laut. Setidakya, itu yang selalu ditanyakan dalam setiap lamunannya di pagi buta dan senja menjelang malam di ujung perahu kayunya yang kini ditumpanginya.
“Kay, ayah lusa akan pergi melaut bersama kawan-kawan,” ayahnya membuka cerita, “mungkin selama seminggu ayah gak akan pulang,” lanjutnya kali ini dengan ekspresi yang datar
“ayaaah?” nada suara Kayre bertanya, kemudian tetes air matanya berjatuhan.
Tangannya kali ini bukan hanya menyentuh garis-garis cat di dayung, tetapi dayung itu benar-benar di gengggamnya. Meskipun tak akan pernah mampu tangan mungilnya menggenggam dayung sepenuhnya.
Tak sedikitpun sentuhan tangan ayahnya menyentuh pundak Kayre, seperti mati rasa. Jangankan menyentuh badannya, mendekati anaknya saja seolah enggan. Tubuh Kayre gemetar seperti menggigil kesakitan menahan luka dalam hatinya. Air matanya seperti tak ingin kering mengalir. Namun, yang berbeda dengan Kayre, dia menangis tak seperti anak seusianya yang menangis sambil teriak atau menjerit-jerit. Kayre cukup meneteskan air mata hingga berderai, dan setelah itu dia hanya melamun, seperti merenungkan apa yang sedang dialaminya.
***
Senja sore ini berwarna merah bersolek dengan warna kuning tua dan sinar matahari yang hendak pulang ke tempat peristirahatannya. Wajah Kayre masih sama seperti 10 tahun yang lalu, saat dia berdiri di ujung perahu kayu yang menepi seraya menatap tepi laut, di bibir pantai. Kali ini yang berdiri adalah sesosok gadis remaja, dengan rambut ikal gantungnya sampai di pinggangnya. Dia mengenakan kaos yang masih tetap berwarna biru langit, namun kali ini warnanya natural. Dilengkapi rok hitam semata kaki, yang kembali ikut menari bersama hembusan angin pantai yang menerpanya.
Tangannya menggenggam dayung berwarna biru bergaris-garis putih, kali ini dayung itu dapat digenggam sepenuhnya. Sore ini dia benar-benar menanti bocah lelaki yang sering menghampirinya dulu, dan memanggilnya “Ree”. Kayre benar-benar ingin mengetahui siapa bocah lelaki itu. Hanya bocah itu yang memiliki panggilan berbeda, semua orang memanggilnya Kay, dan bukan “Ree”.
Ujung laut yang tak pernah bertepi, mengingatkannya pada sosok ayah yang tak pernah ditatapnya lagi semenjak 10 tahun yang lalu. Kini Kay benar-benar merindukan ayahnya, bahkan sepertinya rindu “bentakan” ayahnya, walaupun sekedar rindu akan itu. Saat ini, ujung laut itu memberikan dua gambaran yang satu muncul dan satu tenggelam. Bukan lagi ibunya yang ia nantikan kini muncul di ujung laut itu. Karena kini Kay tahu bahwa sosok ibunya adalah sebuah bintang yang bernaung di langit, yang setiap malam sejak dulu selalu dipandang dan ditunjuknya.
Suasana hati Kayre remaja itu terlihat tak menentu. Bebrapa orang kini sedang dinantinya.
“Ree,” sesekali kemudian Kayre menirukan suara bocah lelaki itu. Namun tak pernah ada jawaban,
“Reee,” ulangnya kembali memanggil dirinya sendiri. Dan tetap tak pernah ada jawaban.
Ombak menghempas perahu Kayre dengan begitu kencang, dan mengajaknya menari. Angin pun datang menghampiri rambut dan baju Kayre dengan maksud yang sama, mengajaknya menari. Kayre tersenyum pada ujung laut yang seolah menopang senja cantik sore itu. Seketika dayung di genggamannya mulai bergerak berputar di bawah jari jemari Kayre, seolah ikut pula menari bersama senja sore itu. Mata Kayre berbinar, merekam setiap pixel warna senja sore itu. “aku masih menanti disini,” lirihnya pada sinar matahari yang perlahan hilang dengan senyum lebar.
***

Related Post



Posting Komentar

footer

Pages

Sponsers