Lewat Dirimu, Mega

Lewat Dirimu, Mega 
oleh Ana Marliana

Kotak-kotak samar berderet rapi
Bersuara halus, meski saling berbisik
Menyimpan diksi yang berapi
Rentan akan gelisah terusik

Hanya sejenak napas ini menghirup udara segar. Bulir-bulir kesejukan yang merasuk lewat lubang hidung dan bersemayam dalam paru-paruku ini. Kesejukan yang mendinginkan aliran darahku, bahkan sejenak membuatnya beku. Keheningan yang sejenak melumpuhkan detakkan jantungku. Hanya sejenak. Dan sepersekian detik dari 24 jam waktu yang aku miliki. Rasanya itu yang aku rasakan.
Kali ini sebaliknya. Inilah sebenarnya dunia di balik cermin yang beku. Jantungku seketika berdegup kencang. Darah dalam urat nadiku mengalir dengan deras. Panas tubuhku seperti mendidihkan aliran darah yang mendorong andrenalinku kuat. O2 dalam tubuhku terurai menjadi keringat dengan campuran NaCl. Terasa mengalir deras di keningku. Jemari tak urung juga bisa diam. Gerakannnya mengisyaratkan dirinya sedang gelisah. Tidak hanya jemariku yang bergoyang, ternyata seluruh tubuhku bergetar. Bergetar tak karuan.
Sayup angin yang tiba-tiba mendarat ditubuhku, menyusup lewat celah-celah baju dan jilbabku. Sentuhan lembutnya sedikit menghibur amukan keping darah yang saling berdesakan ingin segera masuk ke jantung, dan kemudian dipompakan. Hanya sekejap, gelisah itu datang lagi dan semakin menjadi-jadi.
“Gimana kondisi ibumu?” suara sesorang berbisik memecah kegelisahanku. Sontak aku menoleh, “Bibi?” ucapku, lalu aku hanya mampu menggelengakn kepala beberapa kali.
Mataku menangkap sosok perempuan adik kandung ibuku. Dia mengankat tubuhnya. Langkah pastinya menuntunya menghampiri laki -laki separuh baya yang sejak 3 jam lalu berdiri di samping pintu yang bertuliskan ‘Ruang Operasi’, dengan raut kecemasan yang tidak dapat disembunyikan lagi. Matanya bebinar, memori dengan istrinya mulai terputar di disket pikirannya. Titik airmatanya mengalir mengikuti kecemasannya.
“Mas, sabar ya!” ucap perempuan itu berbisik seraya tangannya menyentuh pundak laki-laki separuh baya itu. Ayahku.
Itulah selintas gambaran yang masih mampu kurekam lewat sorotan mataku yang terasa semakin perih. Aku pun sama seperti ayahku, masih menanti. Masih menunggu. Beberapa orang yang kompak berseragam hijau-hijau dengan masker dan penutup rambut yang sama berwarna hijau keluar dari ruang pertarungan itu. Kecemasanku semakin menjadi-jadi. Beribu pertanyaan mengusik dalam benakku.
Kutundukan pandangaku. Berharap saat kutegadahkan kembali wajah, ku dapatkan sosok ibu yang kembali tersenyum. Sekelibat, kepingan CD tentang aku dan ibu terputar di pikiranku. Sesungging senyum yang selalu terpancar di pagi hari, lebih dari itu, dalam setiap waktu. Seolah kebahagiaan kekal dalam goresan senyumnya. Seketika kerinduan menjalar dalam tubuhku. “Aku rindu ibu,” hanya kata-kata itu yang masih mampu terucap dari bibirku. Semenjak 1 bulan yang lalu ibu koma. Kanker hati yang menyerangnya, telah melumpuhkan dirinya. Suaranya. Senyumnya. Bahkan sekaligus melumpuhkan aku dan ayah. Melumpuhkan puing-puing hidup kami dalam album keluarga bahagia.
***
Halus warna, tergores dalam tubuhnya
Terlempar bahagia di angkasa
Meski, hening dalam paruhnya
Saat kepakan itu terbuka

“Rahma?” suara seseorang mengejutkanku. Sontak lamunanku buyar.
“Hhm,”jawabku kaget
“Alida,” ucap perempuan cantik. Parasnya mengisyaratkan dia masih seusiaku. “Alida, ingat kan?” katanya berulang.
Aku masih menatapnya dengan penuh kebingungan.
“Temen SMP dulu, kita pernah sebangku waktu kelas 7,” jelas perempuan bernama Alida. Sesuai perkenalannya
“Haaa,”jawabku datar,
“Lagi apa disini?” tanyanya akrab, tak menghiraukan apapun responku
Aku tak mengeluarkan sepatah katapun untuk menjawab pertanyaannya. Bukan tak ingin menjawab, tapi lebih tepatnya aku masih merasa bingung dengan kedatangannya tiba-tiba disampingku. Taman burung ini memang bukan tempat isolasi untuk para pengidap penyakit akut, baik penyakit psikis maupun penyakit fisik yang belum ada obatnya. Tapi setidaknya, ini adalah tempat persembunyianku dari segala kepenantan hidup yang bersarang di pundakku. Membuat tubuhku terkadang terpapah untuk berdiri. Masih terasa sulit dan sakit.
“Rahma?” Alida kembali mengejutkanku. Mungkin kali ini dia merasa memang aku tak merespon kedatangannya
Aku hanya tersenyum tipis. Lalu senyum itu berubah menjadi hujan air mata. Tak terbendung.
“Kepergian ibu masih menyesakkan,” beberapa patah kata baru terlontar dari bibirku
“Ibu…?” ucapanya terhenti, “Masih ada ayahmu yang harus kamu perhatikan,” tambahnya
Aku hanya sedikit terkejut. Namun ucapan Alida cukup memberikan angin segar dalam keringat kesedihanku. Membuatnya sedikit lembab. Tak lagi melangalir deras.
Kutorehkan pandangan ke arahnya, “Benar,” ucapku menghela napas panjang
Titik air langit jatuh mengguyur tubuhku. Tentu tubuh Alida juga basah kuyup. Taman burung ini berubah menjadi lapangan kosong, tanpa tebaran dan hinggapan burung-burung merpati putih, hitam, abu, dan warna-warna bulu yang indah melukis di tubuhnya. Hanya air hujan yang masih setia menemani tubuh kami yang juga setia menggigil diguyurnya.
***
Langit sore melukis keindahan panorama bumi yang sempurna. Sayup angin yang menerpa di tubuh pepohonan membuatnya menari sejenak. Mataku masih menatap jalan setapak di hadapanku.
“Kalau kamu masih belum siap untuk pindah dari sini,” kata-kata ayah terhenti, “Ayah tidak apa-apa,” ucap ayah seraya mengusap punggung tanganku yang menyentuh pegangan kursi roda yang ditumpanginya.
Aku tersenyum, “Tidak Ayah,” jawabku halus tepat di samping telinganya, “Rahma mau kok pindah dari sini,” jawabku menutupi beban yang menyesak di dada
“Kamu putri Ayah. Ayah tau bagaimana perasaanmu saat ini,” ayah menebak sesak yang aku rasa
Senyumku memudar, “Kenangan Ibu lekat disini, Yah,” ucapanku melemah. Menyusul titikan air mata mengalir di pipiku.
“Ayah paham. Bahkan sangat paham. Tapi sayang…” suaranya yang terdengar bergetar, terhenti
“Iyaa Ayah, Rahma juga paham. Hmmm, ayo pergi dari sini,” jawabku mencoba menghibur ayah
Ayah hanya menganggukkan kepalanya beberapa kali. Tanpa sepatah kata lagi yang terlontar dari bibirnya. Barangkali air matanya yang kini mewakili kata-katanya yang tersumbat di tenggorokannya. Memang sulit meninggalkan istana yang dihuni aku, ibu dan ayah 2 tahun lalu. Disana terpatri benih-benih kasih sayang yang tak dapat terbeli oleh apapun jua. Kebahagiaan, kebersamaan, canda tawa, air mata, kami tumpahkan di gubug tua dengan luas bangunan sekitar 170 m2 itu. Wajar saja aku namakan istana itu gubug tua, sebab rumah itu adalah rumah peninggalan kakek buyutku, berpuluh-puluh tahun lalu.
Ayah. Laki-laki tua yang mulai disarangi keriput di kulit wajahnya Nampak masih menggoreskan luka yang mendalam. Atas kehilangan ibu dan rumah kenangan kita bertiga. Tepat setahun selepas ibu tiada, ayah diserang stroke. Padahal, ayah tidak memiliki riwayat penyakit jantung. Kesedihanku makin menggunung. Bukan karena aku tak mau mengurusi ayah yang sakit, tapi hatiku masih menoreh kepedihan yang mendalam atas kepergian ibu, disusul dengan kesakitan ayah. Yang mungkin saja datang karena ayah pun teriris hatinya sebab separuh jiwanya telah tiada.
***
 “Rahma mau cari kerja, Yah,” kataku membuka pembicaraan pagi ini.
Suara sentuhan sendok makan di piring ayah berhenti terdengar. Beberapa saat aku pun merenungi ucapanku sendiri. Dengan menyimpan segores rasa bersalah pada ayah dihatiku, kulangkahkan kaki mendekatinya.
“Ayah tidak mengizinkan?” tanyaku menebak isi hati Ayah. Ayah masih diam. Namun air matanya tak dapat berhenti mengalir di pipinya.
“Ayaaah,” ucapku seraya merendahkan badanku di samping kursi rodanya. Ku sentuh tanganya yang mengurus dan berkeriput.
“Ayah,” ucapku terbata, “Kalau Ayah tidak mengizinkan Rahma cari kerja, yaa gak apa-apa,” lanjutku dengan mantap, namun lebih tepat aku menyembunyikan rasa kecewa.
Ayah masih tetap diam. Bahkan sentuhan tanganku tak dibalasnya.
“Rahma yakin, Rahma gak apa-apa. Yah, toh tabungan kita masih cukup untuk 1 tahun kedepan,” ucapku menahan sesak di dada. Bukan karena aku merasa kecewa pada laki-laki tua yang darahnya mengalir ditubuhku saat ini menolak keinginannku. Namun, lebih tepatnya aku merasa pengap menahan tangis sebab tabungan ini adalah uang sisa dari penjualan istana milik Ibu dan Ayah. Yang sekarang telah menjadi istana milik orang lain.
“Ayah sudah tua Nak,” ucapan ayah sesak menahan tangis
“Rahma tau,” jawabku mencoba mencairkan suasana hati ayah
Ayah hanya tertunduk, dan tanganya kali ini mendarat di rambutku. Menyentuh dan membelai kepalaku dengan penuh rasa cinta. Itulah yang kurasa dalam hatiku. Ketenangan. Obat dari segala bentuk derita di hatiku. “Aku tak dapat membayangkan jika kehilanganmu, Ayah,” bisikku yang tersembunyi dibalik tirai lubuk hatiku.
***
Daun-daun kering itu berlari
Angin bersiul, membawanya bernyanyi
Daun-daun muda mulai bercerita
Kami mendengar dengan setia

Segala ketakutanku satu persatu menghampiri. Mereka datang dengan membawa segudang mawar. Namun mawar hitam yang layu yang menemani mereka. Mereka membawa merpati. Namun merpati hitam pula yang terbang dan hinggap di sekitar mereka. Mereka membawa hujan. Namun rintiknya tak lagi menyejukan.
“Ini makam Alida, Rah,” ucap seorang wanita separuh baya dengan raut kerinduan yang mendalam.
“Alida pernah menemui saya setahun lalu,” ceritaku dengan rasa terkejut meyaksikan pusara di hadanku
“Mungkin Alida merindukanmu Rah,” Ibunya berkata seraya merangkul pundakku, “sebelum pergi, dia memang sempat bercerita ingin menemuimu,” lanjutnya, kini air mata kerinduannya meleleh
Aku pun ikut meneteskan air mata. Alida sahabatku ketika usiaku masih 13 tahun ini sudah 3 tahun lebih dulu menuju permadani surga yang indah, ketimbang ibu. Suaranya yang hangat, dan tatapannya yang tajam namun penuh kasih sayang masih membayang diujung mataku. Tak pernah kukira, kini dia berada di balik gunungan tanah merah. Hanya wangi pemakaman yang menyegat yang kini mengiris sampai dilubuk hatiku.
***
Bongkahan es yang membeku
Saat ini mencair
Membuat badai dalam bisu
Darah perih, kembali mengalir

Wangi ini seperti sudah kekal dalam indra penciumanku. Lekatnya tanah kembali menyentuh di ujung baju dan telapak tangannku. Tak ingin bersih. Tangan ini kotor dengan corak merah dan coklat dari tanah tempat peristirahatan orang-orang yang aku cintai. Air mataku mengantar kepergian Ayah. Sekarang, tak akan kusembunyikan lagi perih dan pedih yang bernanung di ujung hatiku. Disini, dihadapan cinta yang begitu indah akan kuhapus kesedihanku dengan membiarkanya mengalir, dan kemudian pergi. Entah, biarlah angin yang membawanya terbang. Atau biarlah air yang membawanya hanyut. Atau, biarlah benih-benih kesedihan ini saling terkejut dengan kebahagiaan yang mungkin nanti akan ku dapatkan. Semoga.
“Kamu harus ikut bibi ke Surabaya,” bisik perempuan adik kandung ibuku disela kesedihanku
“Tapi bi,” jawabku meragu, “ayah dan ibu kan disini,” jawabku masih merintih pilu
“terus, kamu mau tinggal sendiri?” bibi mengajukan pertannyaan yang sama begitu mendesak
“Aku akan selalu merindukan mereka, bi,” jawabku seraya terisak, “aku bingung,” jawabku, tak ingin lagi banyak berkata
Bibi memelukku. Aku larut menangis dalam dekapannya yang hangat. Berharap, dekapan ini yang diberikan ibu saat ayah tiada. Seperti halnya dekapan ayah saat ibu tiada.
***
Langit Surabaya begitu cerah. Orang-orang berlalu lalang dengan berbagai kegiatan. Di sepanjang jalan Jakarta-Surabaya aku hanya termenung menatap pemandangan dengan pikiran yang melayang. Terbayang semua yang aku lewati bersama dua orang yang kucintai. Kehangatan mereka kini berubah mendingin. Bahkan membeku.
“Sebentar lagi kita turun Rah,” Ucap bibi mengagetkanku
“Hmm,” aku hanya menjawab dengan sekali anggukan
Bibi hanya tersenyum pilu melihat sikapku. Aku tahu itu.
“Ayah, aku ingin balon yang warna merah itu?” ucap anak perempuan manja pada ayahnya
“Yang mana sayang?” laki-laki yang menggendongnya bertanya dengan nada manja pula
“Yang merah, ayah,” kata anak itu mantap
Seorang wanita menghampiri mereka berdua, “Ayo sayang, kita cari dulu sayuran,” kata-katanya begitu halus.
Mereka berlalu dari pandanganku dengan senyum yang merekah. Semua rasa berkecamuk dalam batin dan benakku. Gerimis kesedihan kini kembali menepi. “Aku sangat merindukanmu, Ibu…ayah…” lirihku dalam hati.
“Ayo Rahma,” Bibi memanggilku,
Kubalikan badan, berjalan membuntuti bibi. Langit Surabaya yang mulai memerah memancarkan indah yang sama ketika aku meninggalkan istanaku. Kutatap tiap goresan lukisan itu. Sedikit demi sedikit kulebarkan senyum. Kutitipkan senyum ini untuk ayah dan bundaku lewat dirimu, mega.***

Prolog Novel


Aku bias saja dengan mudah menggoreskan pisau di urat nadi tanganku, ketika pikiranku sedang tidak tenang,” ucap Mirsha kepada seorang psikolog yang berdiri tepat di samping tempat tidur Mirsha di ruangan rawat inap. Mirsa yang masih terbaring lemah dengan perban yang melilit di tangan kanannya menutupi luka bekas goresan pisau tadi pagi. “Untung saja sodari Mirsa cepat di bawa kemari, sehingga nyawanya bisa tertolong.” Papar dokter yang menangani Mirsha memberi keterangan kepada psikolog yang coba menelaah keadaan jiwa Mirsha. 

Hentikaaaaaan!!!” bentak Rani seraya melemparkan sebuah sendok dari tangannya. Suasana di meja makan seketika mencekam. Dengan wajah merah matang Rani menatap  suaminya. “Aku bilang, aku mau cerai! Paham?!.....” suaranya melengking sampai menusuk di gendang telinga Bagas. Bagas pun seketika bangkit dari duduknya, tanganya menarik tangan istrinya yang menunjuk-nunjuk ke arahnya. “Kita bisa bicarakan ini nanti,” ucapnya perlahan. Wajah Rani semakin merah menyala. “Lepaskan!” tangannya membuang genggaman Bagas. “Ini meja makan!” suara Bagas kali ini membentak. “Lalu?” Rani menjawab dengan nada yang lebih tinggi. Kemudian tangannya cepat meraih tas yang tergeletak pada kursi disampingnya berdiri. “Saya tidak mau tau, sepulang saya dari kantor surat cerai itu sudah saya terima!” ucapnya dengan nada masih marah, “Jaga anakmu! Bagas!” tambahnya ketus, kemudian Rani bergegas meninggalkan meja makan.

Haruskah jadi budaya baru?


Haruskah Jadi Budaya Baru?
Oleh : Ana Marliana
Beberapa hari terakhir ini semenjak munculnya isu kenaikan harga BBM (Bahan Bakar Minyak) banyak sekali bentuk protes dari masyarakat. Salah satu bentuk protes ini adalah dengan mengadakan aksi atau demo di beberapa lembaga daerah untuk menyuarakan aspirasi masyarakat. Beberapa elemen masyarakat diantaranya mahasiswa dan buruh, yang kerap kali melakukan aksi memprotes kenaikan BBM.

Puncak dari aksi menolak kenaikan BBM ini adalah ketika sidang Paripurna DPR RI (30/3)

Adakah "Sekolah" yang layak?


Adakah “Sekolah” Yang Layak?
Oleh : Ana Marliana

Saat ini kata “sekolah” sudah tak asing lagi di telinga setiap orang. Betapa tidak, saat ini sudah banyak sekolah-sekolah yang berdiri dengan status negeri maupun swasta. Bahkan, pemerintah pun gembar-gembor menyuarakan tentang pendidikan terutama lewat sekolah. Sekolah dibentuk sebagai wadah pendidikan formal yang terdiri dari SD, SMP, SMA dan Perguruan Tinggi.

Sekolah mendapat sorotan tersendiri saat peringatan Hari Pendidikan Nasional

Wanita, boleh eksis


Wanita, Boleh Eksis

Peringatan hari kartini yang jatuh setiap tanggal 21 April, akan diperingati setiap orang dengan berbeda-beda. Ada yang melaksanakan lomba peragaan busana dengan pakaian wajib yang dikenakan yaitu kebaya dengan segala atributnya, menggambarkan sosok Kartini. Ada pula yang memperingatinya dengan membuka seminar atau lokakarya yang mengulas tentang Kartini dan wanita. Bentuk peringatan ini biasanya disesuaikan dengan tingkat pendidikan yang sedang dijejaki.

footer

Pages

Sponsers