Menari di dayung senja

Menari Di Dayung Senja
Oleh : Ana Marliana


Deburan ombak yang saling berkejaran dihempas angin seolah sepasang sejoli yang sedang memadu cinta di malam pertamanya. Mereka berpadu dengan mesra. Saling berjabat, saling menyentuh, bersenda gurau, tertawa riang bahkan seolah berbaring bersama dan masuk dalam mimpi indah bersama-sama pula.

Di bibir pantai senja itu terdampar sebuah perahu nelayan. Perahu yang ikut menari kala tubuhnya terhempas ombak. Di ujung badan perahu kayu

Bayangan Semu

Bayangan Semu

Langit diluar sana mungkin telah berubah warna menjadi hitam dan gelap. Mungkin pula, dengan beberapa bintang yang bertebaran menemani kegelapan. Mungkin juga, diantara bintang-bintang itu hadir rembulan yang berbentuk kue bulan sabit dengan gula halus yang menyelimuti tubuhnya. Sinar bulan itu tak nampak begitu terang. Entahlah, itu hanya mungkin. Dan itu hanya bayangan yang sekelibat hadir dalam benakku. Benakku yang masih terus terbangun, meskipun jam di dinding sudah mengajakku untuk segera masuk ke alam mimpi. Bermimpi, dan bermimpi tentang apapun yang pernah dan tidak aku alamai.

Yaaa, Aku yang masih terbaring melentang di atas tempat tidurku enggan untuk memejamkan mata. Meskipun rasa perih telah menjalar dalam tiap urat syaraf mataku hingga mengeluarkan air mata. Lampu kamar yang perlahan menyala dan redup, menghasilkan bayang-bayang tubuhku di dinding. Jendela kamar yang masih ku buka mengantarkan angin malam berlarian masuk dalam ruang tempatku terbaring.

“akan ku tutup jendela itu,” bisikku dalam hati

“akan ku tutup jendela itu,” tak genap satu detik, terdengar bisik ditelingaku menirukan kata hatiku.

Bukan kali pertama aku mengalami hal seperti ini. Awalnya, aku tidak merasa nyaman dan bahkan ketakutan ketika secara tiba-tiba muncul bisikan yang mengetahui segala isi hatiku. Telinga mereka seolah-olah bersarang di hatiku, di dalam batinku. Mereka selalu peka mendengar apapun yang aku utarakan dalam hati. Sungguh tak menyenangkan. Dan aku merasa hidupku tak dapat menyembunyikan rahasia, barang sebesar atom yang dihancurkan. Tapi pada akhirnya, hal tersebut seolah menjadi teman akrab dalam hari-hariku.

Beberapa kali hal ini sering kuceritakaan pada kawan dekatku, Nurma. Dia setia mendengar apapun yang aku rasa. Sepertinya hanya tinggal dia yang mau mendengar, selain mereka yang selalu dapat mendengar. Mereka, yang sama sekali tak pernah kudapati batang hidungnya. Mereka yang tanpa wujud.

“itu hanya perasaanmu saja Sar,” katanya lembut seraya matanya teduh memandangiku.

“ini terjadi berkali-kali Nur, gak mungkin hanya perasaanku aja,” bantahku, sesekali memandang dan kemudian memalingkan mataku dari wajah sahabatku.

Seketika sekelumit perasaan beradu dalam batinku. Tubuhku seolah sekuntum bunga terompet yang dihempaskan angin bertubi-tubi. Nurma memelukku. Dalam riuh orang berlalu lalang di tempat pameran foto, bagiku seperti riuh orang datang berdemonstrasi kepadaku. Aku, akulah yang dituju oleh mereka. Mereka mencaci namaku, mereka membakar fotoku, dan mereka mendekatiku dengan tatapan marah dan muka merah.
***
Percikan air yang terpancar dari sebuah pipa air mancur terlihat begitu indah. Sentuhan-sentuhan kerasnya menghentak di sebuah danau buatan, di pelataran taman kampus tempatku berkuliah. Sesekali, percikan air pancuran itu mendarat di wajahku. Sesekali itu pun sesungging senyum akan terbias di wajahku. Merasa bahagia dengan apa yang aku alami.
“seminggu ini kamu gak pernah masuk kuliah. Kenapa?” tanya Nurma yang tiba-tiba duduk disampingku
“hmmm” aku masih setia menatap semburan air, dan berharap kembali menetes di wajahku.
“Sar,” Nurma memanggilku.
Aku mendengarnya.
“Saraaaah,” nada suara Nurma mulai meninggi. “halooo!” tangannya nenutup mataku.
Aku menoleh kearahnya dengan tatapan sinis, kali ini aku merasa hidupku di usik oleh teman dekatku sendiri.  Seketika api seolah membakar dalam dadaku. Badanku bangkit dengan sendirinya, kemudian berlalu. Hari ini kututup perjumpaanku dengan Nurma di bawah percikan air mancur dengan sedikit kekesalan.
***
Entah bagaimana caranya aku berada di tempat ini. Aku seperti berada tepat di bawah langit biru, dan seolah awan-awan putih itu dapat ku sentuh dengan jemariku. Aku berada di sebuah atap gedung yang nampaknya belum selesai dibangun. Aku berada di sekeliling batu-batu kerikil yang berserakan, dan batu-batu yang menempel di dinding yang bisu. Seperti selalu takut terjatuh dari lantai 30 ini. Aku tahu, aku berada di atas sebuah hotel tua. Tak lagi digunakan sebagai mana mestinya. Dan saat ini, di depanku sedang terduduk seorang wanita seusiaku, dengan gaun merah mudanya, dan rambut ikal gantungnya, yang nampak seperti seorang ratu atau putri dalam dongeng-dongeng kerajaan. Dan melihatnya, aku merasa aneh sendiri.
“kamu sedang apa disini?” tanya perempuan itu kepadaku seolah tahu kehadiranku.
Gadis itu terduduk di pinggiran gedung. Seperti tidak takut terjatuh. Sedang aku masih berdiri kaku dibelakang punggungnya. Sesekali menatap dia heran. Dan menatap sekelilingku. “entah,” jawabku singkat, lebih tepatnya aku masih merasa bingung.
“gak usah bingung,” katanya sambil membalikkan badannya kearahku, lalu menghampiriku, “Catreen,” ucapnya menugulurkan tangan ke arahku.
“Sarah,” aku balas menjabat tangannya, sesekali ku pandang wajahnya.
Catreen tersenyum manis kepadaku. Benar-benar senyuman termanis.
“kamu mau ke pesta?” tanyaku penasaran, tanpa berani menatap terus kearah matanya
“tidak,” jawabnya, “aku hanya senang saja dengan pakaian ini,” lanjutnya kemudian seraya kembali menghadapkan tubuhnya seperti semula, “kalau kamu mau, aku masih punya satu lagi,” tawarannya membuatku geli.
“aaah, tidak. Terimakasih.” Balasku sambil tersipu malu, “ngomong-ngomong kenapa aku ada disini?” tanyaku sambil menggaruk-garuk kepala, sebenarnya tidak terasa gatal
“jangan pernah tanyakan apapun yang kamu alami, karena semua itu akan kamu alami tanpa kamu sadari,” jawabnya serius
“maksudnya?” aku mengerutkan dahi, benar-benar tak mengerti yang dikatakan Catreen.
“kamu akan mengalami banyak hal yang mungkin orang lain tak akan mengalaminya,” tuturnya.
Aku merenung. Mencoba membuka memori-memori tentang peristiwa-peristiwa aneh yang pernah kualami.
“kenapa kamu tahu?” tanyaku semakin penasaran
“aku sudah bilang, jangan tanyakan apapun yang terjadi dalam hidupmu,” jawabnya dengan nada suara ditekan, “selamat datang di dunia barumu, Sarah,” lanjutnya, membuat aku semakin penasaran.
Dunia baru. Memang dunia baru. Dunia yang baru aku rasakan setelah semua orang pergi meninggalkanku. Semua orang yang menyayangiku, namun entah, mungkin kasih sayang itu palsu. Semua orang yang menyebabkan aku harus selalu mengurung diri di dalam kamar. Menjadi pemalu ataupun pendiam. Melukis setiap titik kepedihan hidup yang tak pernah berujung. Semuanya membuat aku merasa hidup hanya ditemani bayangku yang selalu muncul di dinding ketika aku berbaring hendak tidur. Bayangan yang sama percis sepertiku. Bayanganku sendiri.
***
“Tidak mungkin Saar,” Nurma mulai tak mempercayai perkataanku,
“benar, ini memang sulit dipercaya. Dan bahkan dia selalu mengikutiku, dan sekarang tinggal bersamaku,” aku masih bersemangat menceritakan tentang Catreen.
Nurma terdiam. “kamu tanya, wanita itu berasal dari mana?” tanyanya mulai khawatir,
“tidak,” jawabku singkat, “ katanya, aku gak boleh tanya tentang hal aneh apapun yang aku alami,” jelasku,
Nurma menggenggam tanganku. Suasana taman kampus yang sejuk, menghembuskan angin dingin ke sekujur badanku.
“boleh kan hari ini aku  ikut ke kost-an kamu?” Nurma berbicara dengan nada seperti ragu.
“sebelumnya kamu tak pernah izin kalau mau ke kost-an, kenapa sekarang bilangnya gitu?” aku mulai cemberut
“tidak Saraah sahabatku, aku hanya takut mengganggu teman barumu,” jawabnya menyindirku,
“tidak,” jawabku singkat sambil memeluk tubuh Nurma, “makasih ya, kamu selalu ada buat aku,” lanjutku. Nurma hanya mengangguk pelan di pundakku.
***
Semenjak hari itu, Nurma seperti menjaga ku ketat. Dia sesekali menengok ke kost-an untuk melihat keadaanku jika aku tak masuk ke ruang kuliah. Apalagi, setelah akau menceritakan tentang Catreen yang selalu mengikutiku. Selalu tiba-tiba muncul dan tiba-tiba menghilang. Dan tentang Mario, seorang pedagang bunga yang selalu mengirim setangkai mawar merah kepadaku. Bunga itu selalu tergeletak di depan pintu kamarku, tanpa ada yang tahu siapa yang menaruhnya. Semua seperti sihir yang sulit dimengerti.
“pagi ini ada bunga lagi?” Nurma berceloteh dibalik telepon yang menempel di telingaku.
“entahlah Nur, males keluar kamar,” jawabku acuh,”siapapun dia, yang jelas aku ga pernah suka bunga mawar, so tau sih dia,” lanjutku
“emang aneh kamu. Atau mungkin, sebenarnya bunga itu untukku, dia kira kost-an ku disitu karena akhir-akhir ini aku kan sering main kesitu, hahaha,” lanjut Nurma, mengarang cerita
“haha, bisa saja,” jawabku,” coba deh kamu lacak, tanya ke semua penjual bunga, ada ga yang namanya Mario, kalau dia ganteng, nah kamu pacarin, kalo engga, hmmm, lupain aja tentang bunga mawarnya,” lanjutku berusul, kemudian tertawa puas
“dikau,” Nurma berbicara singkat, kemudian telepon kami terputus.
Itulah kegiatan lain saat aku tak bisa bertemu Nurma di kampus. Hanya telepon ini yang menjadi perantaraku dengan Nurma. Meskipun, ada kegiatan baru lainnya. Seperti, Catreen yang akhir-akhir ini selalu mengajakku berpetualang ke tempat-tempat yang belum pernah aku datangi, seperti bar, diskotik, ataupun tempat-tempat yang berbau glamour. Dan kegiatan baruku lainnya, menjadi  pengumpul bunga mawar merah dari Mario si penjual bunga misterius.
***
Aku masih tergeletak di tempat tidur, tubuhku rasanya lemah sekali. Selang infuse mengalirkan cairan infuse kedalam tubuhku, lewat nadi di tanganku. Aku menyadari, aku saat ini sedang berada di dalam sebuah ruangan rawat inap. Meskipun tak ada tubuhku yang terasa sakit, namun rasanya tulang-tulangku meleleh dan tak ada sedikitpun tenaga untuk menggerakan badanku. Dengan samar kulihat seseorang berdiri mengahadap keluar kamar lewat jendela kamarku. Seperti Nurma, dengan kemeja pink yang selalu dikenakannya. Aku mengenal bajunya.
“Nuur,” perlahan ku panggil dia, suaraku benar-benar pelan. Nurma tak mendengarku.
“Nurmaa,” panggilku lagi, “Nur,” aku benar-benar tak bisa bersuara lebih keras lagi,
“Saar,” Nurma membalikkan badannya, dan langsung menghampiriku. “akhirnya, kamu sadar juga,” ucap Nurma sambil meraih tanganku.
“aku kenapa,?” tanyaku, “badanku lemes banget,” lanjutku, menceritakan apa yang aku rasa
“hmmmm,,” Nurma bergumam, Dia seperti berulang-ulang menarik nafas panjang. “Tidak apa-apa. Jangan mikirin yang macem-macem dulu, yang penting sekarang kamu harus sehat!” lanjutnya baru mau bersuara
Aku menatap dalam, menerawang jauh kata hati Nurma lewat sorotan matanya yang sayu. “kamu bohong Nur,” ucapku menebak dengan tepat
Nurma terdiam. Kemudian air matanya jatuh perlahan. “Kamu, kamu di diagnosa sakit…,” ucapannya terhenti, dia menangis tersedu-sedu diatas tanganku yang digenggamnya.
“Nur, aku sakit apa?” tanyaku semakin takut dan penasaran,
“Semua tentang, suara-suara yang selalu menirukan kata hatimu,” suaranya terputus-putus, “semua tentang Catreen,” lanjutnya, masih terputus-putus, “semua tentang pengirim bunga,” suara Nurma seperti menahan beban berat dalam hatinya,
“Iyaa, semuanya kenapa?” tanyaku antusias,
“semua hanya…” kata-katanya semakin terpotong-potong, “hanya halusinasi  dan delusi  belaka,”  Nurma menangis dengan tersedu-sedu. Dan kata-katanya berakhir disitu.
Aku mencoba mencermati kata-kata Nurma. Lalu seketika air mataku benar-benar deras mengalir. Tak sedikitpun aku mampu menyentuh pipiku sendiri untuk sekedar menyeka air mataku. Semua tubuhku kaku. Antara mempercayai dan tidak atas semua yang diucapkan Nurma. Kupejamkan kedua mataku yang dihujani air mata. Saat ini, tubuhku seperti dihempas angin topan dengan hembusannya yang kecang menerpaku. Dalam sudut gelap pandanganku, Catreen dan seorang lelaki menghampiriku.
“Kami akan selalu ada,” Catreen mendekatiku dan menyentuh tanganku,
Laki-laki yang berdiri di samping Catreen tersenyum kepadaku, tangannya memegang sekuntum mawar merah yang sudah layu.
Antara perasaan takut dan bersahabat berkecamuk dalam benak dan hatiku. “gejala skizofrenia ,” suara berbisik tiba-tiba, suara mereka yang selalu tahu akan isi hatiku. Ketakutan seketika menjalar di setiap urat nadiku, dan aku sama sekali tak ingin membuka kedua mataku lagi. Benar-benar tak ingin.
***

footer

Pages

Sponsers